Kabar Gembira! Ayah Dapat Jatah Cuti saat Istri Melahirkan, Berapa Lama?
Kini ayah atau suami mendapatkan jatah cuti saat istri melahirkan berdasarkan pada peraturan UU Kesejahteraan Ibu dan Anak yang disahkan DPR.
Penulis: Rifqah
Editor: Nanda Lusiana Saputri
TRIBUNNEWS.COM - Melalui Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA), kini ayah atau suami mendapatkan jatah cuti saat istri melahirkan.
Adapun, UU KIA tersebut resmi disahkan oleh DPR pada Selasa (4/6/2024).
UU KIA ini mengatur tentang kesejahteraan ibu dan anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan.
Dari sejumlah poin yang dirumuskan, salah satunya ada cuti yang diberikan kepada suami atau ayah untuk menemani istrinya melahirkan.
Tujuan cuti itu diberikan untuk mendukung peran ayah atau suami dalam tumbuh kembang anak.
Lantas, berapa lama cuti bagi ayah saat mendampingi istrinya melahirkan?
Berdasarkan draft RUU KIA Hasil Harmonisasi Badan Legislasi 9 Juni 2022 Pasal 6 ayat 1 RUU KIA, cuti bagi ayah atau suami diberikan selama dua hari dan tiga hari berikutnya sesuai kesepakatan.
Sementara, jika istri mengalami keguguran, suami berhak mendapatkan cuti untuk mendampingi selama dua hari.
Selengkapnya, UU KIA mengatur suami memiliki hak atas waktu yang cukup untuk mendampingi istri dan anak apabila terjadi kondisi berikut ini:
- Istri mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan dan/atau komplikasi pascapersalinan atau keguguran;
- Anak yang dilahirkan mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan, dan/atau komplikasi;
Baca juga: 5 Poin Penting UU KIA yang Disahkan DPR, Ibu Bekerja Bisa Cuti Melahirkan Sampai 6 Bulan-Ayah 2 Hari
- Istri yang melahirkan meninggal dunia dan/atau;
- Anak yang dilahirkan meninggal dunia.
Saat menjalani cuti pendampingan istri tersebut, suami bertanggung jawab untuk menjaga kesehatan istri dan anak dan memastikan mereka mendapatkan gizi cukup sesuai standar.
Suami juga harus mendukung istri dalam memberi air susu ibu (ASI) eksklusif selama enam bulan penuh.
Ibu Bekerja Dapat Cuti Melahirkan hingga 6 Bulan
Sementara itu, bagi ibu pekerja yang melahirkan mendapat cuti hingga enam bulan lamanya.
Yakni dengan ketentuan cuti bagi ibu melahirkan paling singkat adalah tiga bulan pertama dan paling lama tiga bulan berikutnya.
Waktu istirahat 1,5 bulan berikutnya, jika terdapat kondisi khusus, dapat dibuktikan dengan surat keterangan dokter, sesuai bunyi Pasal 4 ayat (3).
Ibu juga berhak mendapatkan kesempatan dan fasilitas yang layak dalam pelayanan kesehatan dan gizi, serta melakukan laktasi selama waktu kerja.
Selain itu, ibu juga berhak mendapatkan waktu yang cukup dalam hal diperlukan untuk kepentingan terbaik bagi anak dan atau akses penitipan anak yang terjangkau secara jarak dan biaya.
Setiap ibu bekerja yang melaksanakan hak atas cuti melahirkan tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya.
Para ibu tersebut juga berhak mendapatkan upah secara penuh untuk tiga bulan pertama dan bulan keempat, serta 75 persen dari upah untuk bulan kelima dan keenam.
KPAI Apresiasi DPR
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Sholihah memberikan apresiasi kepada DPR dan pemerintah karena sudah meneken UU KIA pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan.
Diharapkan, UU tersebut bisa segera disosialisasikan agar masyarakat mengetahui peraturannya.
Ai menilai, UU KIA itu penting, sebab tidak semua anak-anak lahir dari keluarga yang wajar pada umumnya.
“Karena kami melihat tidak semua anak-anak lahir dari keluarga yang wajar. Banyak sekali catatan kami, mereka yang tidak memiliki ayah dan ibu, dari keluarga yang kondisi berbeda dengan keluarga lain,” ungkap AI, dilansir Kompas.com.
Menteri PPPA: Kesejahteraan Ibu dan Anak Tanggung Jawab Bersama
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga menegaskan, kesejahteraan ibu dan anak merupakan tanggung jawab bersama.
Menurutnya, seorang ibu memerlukan ruang untuk tetap berdaya selama anak dalam fase seribu hari pertama kehidupan.
Sehingga, diperlukan juga peran suami dalam hal ini, guna memastikan istri dan anak mendapatkan pelayanan kesehatan dan gizi yang baik.
"Oleh karenanya, suami wajib memberikan kesehatan, gizi, dukungan pemberian air susu ibu, dan memastikan istri dan anak mendapatkan pelayanan kesehatan dan gizi," ujar Bintang melalui keterangan tertulis, Rabu (5/6/2024).
"Meringankan beban ibu dan terciptanya lingkungan yang ramah ibu dan anak, baik di keluarga, di tempat kerja, maupun di ruang publik merupakan prasyarat penting kesejahteraan ibu dan anak pada fase seribu hari pertama kehidupan," tambahnya.
Menurut Bintang, saat ini ibu dan anak di Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan, seperti tingginya angka kematian ibu pada saat melahirkan, angka kematian bayi, dan stunting.
"Sedangkan kebijakan kesejahteraan ibu dan anak masih tersebar di berbagai peraturan dan belum mengakomodasi dinamika kebutuhan hukum masyarakat."
"Kita perlu menata pelaksanaan kesejahteraan ibu dan anak pada fase seribu hari pertama kehidupan secara lebih komprehensif, terukur, terpantau, dan terencana dengan baik," tutur Bintang.
(Tribunnews.com/Rifqah/Fahdi Fahlevi)