Komnas Perempuan Sebut UU KIA Meneguhkan Peran Domestik Perempuan, Rentan Tak Diterapkan
Kecenderungan pembakuan peran domestik ini tampak pada penambahan hak cuti pengasuhan anak yang lebih besar pada perempuan ketimbang leki-laki.
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan, sejauh ini mengapresiasi niatan pemerintah yang mewujudkan kesejahteraan ibu dan anak (KIA) dalam Undang-undang atau UU KIA.
Namun, pihaknya memiliki catatan yang perlu jadi sorotan pemerintah terkait UU KIA.
“UU ini riskan tidak memiliki daya implementasi,” ungkap ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani kepada Tribunnews.com, Sabtu (8/8/2024).
Tentu hal ini memiliki alasan. Dari pengamatan Komnas Perempuan ada sejumlah Undang-Undang dan kebijakan pemerintah mengenai kesejahteraan ibu dan anak yang dinyatakan tetap berlaku meski telah ada UU KIA.
Baca juga: Menurut UU KIA Tak Semua Ibu Melahirkan Dapat Cuti 6 Bulan, Kecuali Penuhi Syarat Ini
Ego sektoral yang sering kali diajukan sebagai hambatan dalam koordinasi, dan kesulitan untuk pengawasan pelaksanaan kewajiban individual ibu dan ayah.
“Peningkatan daya koordinasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak atau KPPPA menjadi kunci dari implementasi UU ini,” tambahnya.
1. Beban Pengasuhan Anak Masih Lebih Berat ke Perempuan
Hal lain yang menjadi perhatian Komnas Perempuan adalah kecenderungan UU KIA meneguhkan peran domestik perempuan.
Salah satunya ditunjukkan dengan perumusan mengenai hak ibu dan ayah.
“Sementara Undang-Undang ini mendorong pelibatan lebih aktif dari pihak laki-laki, UU ini hanya menyebutkan hak atas pendidikan pengembangan wawasan pengetahuan dan keterampilan tentang perawatan pengasuhan, pemberian makan dan tumbuh kembang anak sebagai hak ibu, dan tidak menjadi hak ayah,” ujar Komisioner Alimatul Qibtiyah.
Komisioner Alimatul menambahkan bahwa contoh lain dari kecenderungan pembakuan peran domestik ini juga tampak pada penambahan hak cuti pengasuhan anak yang lebih besar bagi perempuan dibandingkan dengan laki-laki.
Sebagaimana diketahui UU KIA mengatur cuti perempuan pekerja karena hamil dan melahirkan hingga 6 bulan, dari 3 bulan yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Sementara itu, cuti untuk suami atau ayah hanya bertambah dari 2 hari menjadi mungkin ditambah tiga hari atau sesuai kesepakatan.
Cuti bagi laki-laki menyisakan pertanyaan skema penggajiannya, karena dalam aturan UU Ketenagakerjaan hanya disebutkan 2 hari.
“Perlu ada reorientasi dalam pelaksanaan UU KIA ini agar pelibatan aktif ayah untuk mendorong kesetaraan gender dalam peran orang tua betul-betul terwujud,” ujarnya.
2. Menghambat Promosi Karier
Komisioner Satyawanti Mashudi mengungkapkan peran pengasuhan masih dibebankan kepada perempuan.
Komnas Perempuan berpendapat bahwa penambahan hak cuti hamil dan melahirkan bagi perempuan pekerja adalah bagian dari upaya perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi perempuan.
“Namun UU KIA belum memuat langkah afirmasi lain yang juga dibutuhkan, tentang edukasi bagi perempuan pekerja agar dapat kembali bekerja tanpa harus ketinggalan kariernya,” tambah Satyawanti.
Konsentrasi pada seribu hari pertama kehidupan dan peran pengasuhan dapat menyebabkan perempuan terhambat dalam mengakses kesempatan pengembangan diri atau promosi karier.
3. Ada Kesenjangan antara Perempuan Pekerja Formal dan Informal
Sementara itu, komisioner dan juga Ketua Tim Perempuan Pekerja Komnas Perempuan Tiasri Wiandani mengkhawatirkan bahwa kesenjangan antara perempuan pekerja formal dan informal semakin luas dengan kehadiran UU KIA.
“Hak-hak normatif tentang cuti yang disebutkan dalam Undang-Undang KIA ini hanya dapat dinikmati oleh pekerja sektor formal. Padahal, jumlah terbanyak perempuan pekerja ada di sektor informal,” kata Tiasri.
Menurutnya, dalam implementasi UU KIA perlu memikirkan insentif bagi perusahaan.
Soal hak cuti ini tidak mudah dilaksanakan karena UU Ketenagakerjaan akan lebih menjadi rujukan oleh pemberi kerja.
Juga memungkinkan risiko diskriminasi tidak langsung ketika pemberi kerja lebih memilih pekerja laki-laki dengan alasan mengurangi beban pelaksanaan Undang-Undang, dan daya jangkau pengawasannya lemah.