RUU Polri Atur Akses Internet Publik Bisa Dibatasi, Pakar Hukum Jelaskan Alasan Kenapa Harus Ditolak
Bivitri Susanti menyoroti revisi Rancangan Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri) yang dapat membatasi akses internet publik.
Penulis: Rahmat Fajar Nugraha
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com Rahmat W Nugraha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti menyoroti revisi Rancangan Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri) yang dapat membatasi akses internet publik.
Menurutnya aturan yang mengatur kewenangan tersebut jelas harus dicermati, bahkan ditolak oleh publik.
Adapun hal itu tertuang dalam draf revisi UU Polri Nomor 02 Tahun 2002 terkait pengawasan ruang siber dalam Pasal 16 Ayat (1) huruf q.
Lewat kewenangan tersebut pihak kepolisian dapat melakukan penindakan pemblokiran, pemutusan dan pelambatan akses internet publik.
"Jadi itu juga salah satu yang menurut saya harus kita cermati bahkan harus kita tolak. Karena buat saya nggak adil juga seandainya wewenang sebesar itu dibicarakan dalam waktu yang sempit," kata Bivitri kepada awak media, Senin (10/6/2024).
Menurutnya proses legislasi di DPR tanpa melibatkan partisipasi publik.
"Seakan-akan kita disodorkan, tinggal setuju saja. Padahal wewenang memblokir segala macam konsekuensinya sebenarnya pelanggaran data pribadi," kata Bivitri.
"Dan kita sudah punya Undang-Undang tentang perlindungan data pribadi, enggak boleh diberlakukan dengan semena-mena harus ada prosedur yang ketat," jelasnya.
Lanjut Bivitri bahwa polisi penegak hukum betul, punya tugas menjaga keamanan. Tapi keamanannya dalam aspek apa bagaimana, akuntabilitasnya apa supaya wewenang itu tidak disalahgunakan.
"Ini menurut saya Undang-Undang yang sekarang itu belum jelas. Jadi tidak layak untuk dilanjutkan, kalau mau beneran dilanjutkan dengan cara yang baik demokratis, kita bahas secara mendalam dalam waktu yang cukup," terangnya.
Sebelumnya DPR telah menyetujui RUU tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menjadi usul inisiatif DPR.
Fraksi PDIP DPR RI bakal mempelajari poin perubahan pada revisi UU Polri.
"Begini, semua nanti dipelajari lagi, urusan pemerintahnya kayak apa," kata Sekretaris Fraksi PDIP Bambang Wuryanto, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (3/6/2024).
Pria yang akrab disapa Bambang Pacul itu mengungkapkan sikap Fraksi PDIP terhadap pembahasan revisi UU Polri.
Ditegaskannya, Fraksi PDIP bakal kritis selama pembahasan RUU tersebut.
"Jadi kami tentu sangat kritis untuk itu," ucapnya.
Lebih lanjut, Ketua Komisi III DPR itu mengaku belum tahu, apakah revisi UU Polri akan dibahas di Komisi III.
Pasalnya, Badan Musyawarah (Bamus) DPR yang akan menentukannya.
"Tunggu lah. Belum masuk barangnya ke kami. Apakah akan dibahas di Komisi III, kami juga belum tahu. Itu nanti keputusannya di Bamus," pungkasnya.
Untuk diketahui, saat ini DPR masih menunggu tanggapan pemerintah melalui surat presiden (surpres), untuk membahas RUU Polri.
"Surpres wajib dikirim ke DPR itu paling lama 60 hari bahwa apakah isinya setuju itu nanti di pembahasan. Siapa tahu presiden tolak semua. Kan kita nggak ngerti," kata Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Supratman mengungkapkan ada beberapa usulan lain terkait substansi perubahan revisi UU TNI dan Polri. Namun yang menjadi fokus hanya persoalan usia pensiun.
Baca juga: Berwenang Batasi Akses Internet Publik dalam RUU Polri, SafeNet: Sangat Mungkin Disalahgunakan
"Di Undang-Undang Polri ada tapi hanya penyesuaian-penyesuaian saja. Tapi tidak terlalu menyangkut soal penyelidikan, penyidikan. Jadi tidak terlalu urgen, yang paling inti itu adalah masalah usia pensiun, yang lain engga," ujarnya.