Kerap Provokasi, Tiongkok Jadi Ancaman Nyata di Laut China Selatan, Indonesia Harus Bersikap Tegas
China menghadirkan ancaman di Laut China Selatan, meski secara hukum atau de jure Indonesia tidak memiliki tumpang tindih klaim dengan negara itu.
Penulis: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bagi banyak negara terutama negara-negara di Asia Tenggara, China makin disegani. Tidak hanya karena kekuatan ekonominya yang menjadi salah satu terbesar dunia, tapi juga postur militernya yang kini makin kuat.
Posisi China sebagai negara yang memiliki garis pantai sangat panjang di pesisir timur negaranya, membuat negara ini memiliki kepentingan besar untuk memiliki kontrol kuat atas perairan Laut China Selatan (LCS).
Ambisi China tersebut membuat negara ini kerap bergesekan dengan negara-negara tetangganya yang memiliki irisan garis perbatasan perairan, seperti Vietnam, Taiwan, Malaysia, Brunei hingga Filipina, bahkan Indonesia.
Klaim China atas gugusan karang Spratly di Laut China Selatan hingga kini terus memantik konflik China dengan beberapa negara dari negara-negara yang disebut di atas.
China sengaja menempatkan kapal-kapal ikannya di perairan yang masih berkonflik dengan negara lain sebagai domain kecil negaranya atas klaim wilayah tersebut.
China Suka Klaim Sepihak, Potensi Ekonomi Laut China Selatan Luar Biasa
Dalam beberapa tahun terakhir, sikap China atas Laut China Selatan semakin agresif dan hal ini perlu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah.
"Laut China Selatan amat strategis bagi perekonomian dunia dan memasok 2/3 kebutuhan energi Korea, sumber bagi 60 persen impor minyak Jepang, serta jadi 80 persen sumber impor kebutuhan minyak China," kata dosen Program Studi Keamanan Maritim Universitas Pertahanan Republik Indonesia Laksamana Muda TNI (Purn) Dr. Surya Wiranto, S.H., M.H., dalam seminar ‘Ancaman China di Laut China Selatan: Antara Persepsi dan Realita,” yang diselenggarakan Pusat Studi G20 Universitas Pelita Harapan (UPH) bersama Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta, Jumat, 21 Juni 2024.
Dia menjelaskan, Laut China Selatan juga merupakan jalur strategis perdagangan dunia karna menjadi lintasan 50 persen kapal-kapal kargo dunia dan mewakili sepertiga lalu lintas kapal internasional.
Selain itu, Laut China Selatan juga ditaksir menyimpan 7 juta barel minyak bumi.
Namun, Laut China Selatan juga menjadi sumber konflik bagi negara-negara di kawasan ini. Ada 4 negara ASEAN yang mengklaim punya teritori perairan di Laut China Selatan, yakni Vietnam, Malaysia, Brunei dan Filipina.
Negara lainnya yang juga mengklaim memiliki hak menguasai sebagian perairan tersebut adalah Taiwan dan China.
Klaim perairan Laut China Selatan oleh masing-masing negara tersebut saat ini masih saling tumpang tindih, termasuk klaim terhadap pulau pulau karang di sana yang melibatkan China, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam.
"China mengklaim karang-karang di Laut China Selatan sebagai pulau dan konsekuensinya karena gugusan karang dianggap sebagai pulau, ada wilayah Zona Ekonomi Eksklusif," ungkap Dr. Surya Wiranto.
Dia menyebutkan, di Laut China Selatan banyak sekali terdapat gugusan karang yang jadi pangkal keributan negara negara yang saling klaim wilayah perairan tersebut.
"China mengklaim 90 persen Laut China Selatan sebagai wilayah perairannya," ujar Dr Surya.
Hingga saat ini China menempatkan kapal-kapal ikannya di sana dan kapal-kapal ikan tersebut sengaja ditempatkan oleh Chuna di wilayah perairan yang sedang dalam sengketa dan kerap melakukan provokasi dengan kapal patroli perairan negara lain termasuk Indonesia.
"Bagi China, kapal-kapal ikan tersebut merupakan 'a little domain'," sebutnya.
Indonesia sendiri saat ini menguasai wilayah perairan Natuna dan perairan di sekitarnya. Di kawasan ini, Indonesia pernah beririsan klaim wilayah perairan dengan Vietnam dan China. Namun untuk Pulau Natuna tidak ada klaim oleh negara lain.
Terkait perairan di Laut China Selatan, Dr Surya Wiranto menilai Indonesia sangat diuntungkan oleh landas kontinen dua negara tetangga di wilayah ini, satu diantaranya adalah Malaysia.
Baca juga: Ancaman Kedaulatan Datang dari Laut China Selatan, Jakarta Harus Bersiap Menghadapi Risiko Terburuk
Namun, Indonesia masih belum mampu menuntaskan Zona Ekonomi Eksklusif dengan Malaysia karena perbedaan penggunaan peta UNCLOS.
"Malaysia masih menggunakan peta UNCLOS tahun 1958 sementara Indonesia gunakan peta UNCLOS tahun 1982," sebut Dr. Surya Wiranto.
Soal wilayah perairan di Laut China Selatan, Indonesia hanya bersinggungan langsung wilayah perbatasan lautnya dengan Vietnam dan Malaysia.
Co-founder Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) Edna Caroline, S.T, M.Sc, mengatakan, ISDS beberapa waktu pernah membuat survei tentang pandangan masyarakat Indonesia tentang kehadiran China di Laut China Selatan.
“Dalam survei tersebut, sebanyak 78,9 responden berpandangan bahwa kehadiran China di sana membawa ancaman bagi negara-negara ASEAN, sedangkan 73,1 persen responden menganggap China menghadirkan ancaman bagi Indonesia,” ujar Edna Caroline.
Baca juga: Kapal China dan Filipina Tabrakan di Laut China Selatan, Menhan Filipina Melawan
Edna mengemukakan bahwa generasi Y dan Z termasuk di antara responden yang memiliki persepsi ancaman dari China itu.
Sebagian terbesar (39,1 persen) responden beranggapan bahwa Indonesia dapat memperkuat kedaulatan Indonesia di Laut China Selatan melalui menjalin kemitraan dengan negara-negara ASEAN, sedangkan 16,7 persen menganggap Amerika Serikat (AS) sebagai mitra yang tepat.
Indonesia Harus Bersikap Tegas Terhadap Ancaman di Laut China Selatan
Direktur Eksekutif Pusat Studi G20 UPH, Amelia J.R. Liwe, Ph.D. menyatakan, Pemerintah Indonesia harus punya sikap yang tegas dalam menghadapi ancaman China di Laut China Selatan, demi mempertahankan prinsip-prinsip Indonesia.
“Memang Indonesia menjalankan politik luar negeri bebas aktif, tetapi bebas dan aktif tidak berarti tidak punya prinsip,” ujar Amelia yang juga ketua program studi Magister Ilmu Hubungan Internasional UPH itu.
“Dengan memegang prinsip, Indonesia akan memainkan peran yang besar di kancah regional dan internasional,” kata Amelia.
Dosen Magister Ilmu Komunikasi UPH yang juga Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) Johanes Herlijanto, Ph.D. mengatakan, pemahaman responden dalam survei ISDS memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia sangat sensitif dan menentang setiap upaya pihak luar mempengaruhi kemandirian negara dan pemerintah Indonesia melalui cara apapun.
Johanes Herlijanto berpandangan, persepsi China sebagai ancaman dapat ditelurusi hingga ke pertengahan abad yang lalu.
“Persepsi China sebagai ancaman sangat dominan di era pemerintahan Orde Baru, dan terus bertahan hingga rezim tersebut berakhir,” ujarnya.
Dia mengatakan, salah satu penyebabnya adalah kecurigaan bahwa China telah melakukan intervensi dan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dengan memberikan bantuan pada Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan kudeta yang gagal pada tahun 1965.
“Sekitar satu dasawarsa setelah runtuhnya rezim Orde Baru, tepatnya di zaman pemerintahan Presiden Yudhoyono, persepsi terhadap China di kalangan publik di Indonesia, khususnya kelas menengah, bergeser menjadi positif,” jelas Johanes.
"China sejak zaman Orde Baru dipersepsikan sebagai negara yang ekspansif. China juga dipersepsikan terlibat dalam Gerakan 30 September oleh PKI di Indonesia di tahun 1965," ungkap Johanes.
Di masa lalu, invasi kapal Kubilai Khan dari Kerajaan Mongol ke Pulau Jawa dianggap representasi sikap invasif China.
Di masa pemerintahan SBY, persepsi tentang China berangsur berubah positif. China dipersepsikan sebagai kekuatan yang 'friendly' bagi Indonesia. Saat itu terjadi perubahan narasi sejarah, dari invasi Kerajaan Mongol ke perjalanan muhibah Zheng He," bebernya.
Namun, persepsi negatif kembali mendominasi pandangan publik tentang China sejak tahun 2015.
“Penyebabnya antara lain adalah berkembangnya media baru yang membuka arus informasi terkait tingkah laku China di dunia internasional, makin intensifnya hubungan ekonomi Indonesia China yang diwarnai dengan berbagai isu termasuk isu pekerja migran dan kekhawatiran terhadap ketergantungan Indonesia terhadap China, dan sikap China yang makin agresif dan asertif di Laut China Selatan, termasuk di ZEE Indonesia dekat Kepulauan Natuna,” beber Johanes.
Menurut Johanes, hadirnya pandangan kritis dan persepsi negatif terhadap China, termasuk persepsi China sebagai ancaman di Laut China Selatan, perlu direspons secara bijak oleh Indonesia.
“Pemerintah Indonesia perlu mempertahankan kehati-hatian dalam menjalankan kerja sama ekonomi dengan China, sambil tetap menjaga (atau bahkan meningkatkan) sikap tegas, khususnya dalam hal yang berhubungan dengan kedaulatan dan kemandirian Indonesia,” katanya.
China Klaim Sepihak Wilayah ZEE Indonesia
Dr Surya Wiranto menegaskan, ada perbedaan antara kedaulatan dan hak berdaulat.
“Kedaulatan termasuk dalam wilayah teritorial Indonesia, dan hanya sejauh 12 mil dari pulau terluar Indonesia, sedangkan hak berdaulat yang meliputi zona ekonomi ekslusif (ZEE) yang membentang hingga 200 mil laut dari pulau terluar,” tuturnya.
Ditinjau dari hal di atas, seolah-olah tidak ada permasalahan antara Indonesia dan China di Laut China Selatan.
Namun pada praktiknya, menurut Surya, China melakukan klaim terhadap wilayah ZEE Indonesia, dengan menarik garis putus-putus sebagai tanda kepemilikan China atas sebagian ZEE Indonesia di perairan dekat Kepulauan Natuna, sebuah perairan yang sejak 2017 dinamakan sebagai Laut Natuna Utara.
“Perlu diketahui bahwa klaim China tersebut bukan hanya terkait hak menangkap ikan yang menurut mereka telah mereka lakukan di sana dalam sejarah, tetapi juga klaim terhadap landas kontinen Indonesia, yang menentukan hak Indonesia melakukan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam di bawah laut,” tegasnya.
Meskipun klaim tersebut tidak berdasar dan dinilai ilegal menurut Konvensi PBB Terhadap Hukum Laut (UNCLOS), China tetap melakukan berbagai aktivitas untuk menegakan klaimnya tersebut.
“Milisia maritim China, dengan dikawal oleh kapal-kapal penjaga pantai China, sambil diawasi oleh angkatan laut mereka, berulangkali memasuki ZEE Indonesia,” lanjut Dr Surya.
Itulah sebabnya Surya berpandangan secara faktual alias de facto, China menghadirkan ancaman di Laut China Selatan, meski secara hukum atau de jure, Indonesia tidak memiliki tumpang tindih klaim dengan China atas wilayah Laut China Selatan.