Tempat Ibadah Jemaah Ahmadiyah di Garut Disegel, Usman Hamid: Pelanggaran Serius oleh Negara
kebebasan beragama adalah hak fundamental yang harus dihormati dan dilindungi oleh Negara tanpa kecuali
Penulis: Rahmat Fajar Nugraha
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews.com Rahmat W Nugraha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menanggapi penyegelan tempat ibadah jamaah Ahmadiyah di Kampung Nyalindung oleh Pemerintah Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Menurut Usman Hamid tindakan tersebut menunjukan diskriminasi yang nyata serta pelanggaran serius.
“Insiden di Garut sekali lagi menunjukkan diskriminasi yang nyata dan pelanggaran serius oleh Negara terhadap kelompok minoritas dalam menjalankan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dijamin Konstitusi,” kata Usman Hamid dalam keterangannya, Kamis (4/7/2024).
Baca juga: Seorang Anak di Bawah Umur Turut Jadi Tersangka Perusakan Tempat Ibadah Ahmadiyah
Menurutnya kebebasan beragama adalah hak fundamental yang harus dihormati dan dilindungi oleh Negara tanpa kecuali. Setiap warga negara berhak untuk menjalankan ibadah agamanya tanpa takut diskriminasi, intimidasi, atau ancaman.
“Kami mendesak pihak berwenang di Garut untuk segera mencabut penyegelan tempat ibadah tersebut dan menghentikan segala bentuk tindakan diskriminatif terhadap Jamaah Ahmadiyah. Negara harus memastikan bahwa hak-hak konstitusional Jamaah Ahmadiyah dilindungi dan dihormati,” tegasnya.
Baca juga: 3 Aktor Intelektual Perusakan Tempat Ibadah Ahmadiyah di Sintang Ditangkap
Tempat Ibadah Jemaah Ahmadiyah di Garut Disegel
Sumber kredibel Amnesty International Indonesia mengungkapkan bahwa Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Garut menyegel tempat ibadah jamaah Ahmadiyah pada Selasa, 2 Juli 2024.
Lokasinya berada di Kampung Nyalindung, Desa Ngamplang, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut.
Pada Selasa sore (2/7/2024) bertempat di Ruangan Kasi Intel Kejaksaan Negeri (Kejari) Garut dilaksanakan rapat koordinasi terkait Ahmadiyah di Nyalindung. Rapat itu dihadiri oleh perwakilan dari Satpol PP, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol), Kejari, dan Kepolisian Resor Garut.
Malamnya, puluhan aparat gabungan yang dipimpin oleh Kasatpol PP Kabupaten Garut menutup paksa Masjid Ahmadiyah di Nyalindung.
Sumber Amnesty melanjutkan bahwa alasan Satpol PP menutup paksa masjid tersebut karena sebelumnya telah menerima audiensi dari ormas yang mengatasnamakan GERAM (Gerakan Anti Ahmadiyah) yang menolak keberadaan masjid itu, padahal tidak dipermasalahkan warga sekitar.
Baca juga: Kapolda Kalbar: Anggota Polri Fokus Jaga Rumah Warga Ahmadiyah
Jemaah Ahmadiyah di Kampung Nyalindung sudah ada sejak tahun 1970-an dan hidup berdampingan secara damai dengan warga lainnya.
Jemaah Ahmadiyah di Nyalindung menggunakan masjid itu sebagai sarana ibadah seperti shalat lima waktu, mengaji Al-Quran, dan sarana pendidikan anak-anak belajar tentang ke-Islaman.
Sebelum insiden di Garut tersebut, data Amnesty International Indonesia mencatat selama Januari 2021 hingga Mei 2024, tercatat 121 kasus intoleransi atas umat beragama di Indonesia, di antaranya berupa penolakan, pelarangan, penutupan, atau perusakan rumah ibadah maupun penyerangan atau intimidasi atas umat. Pelaku intoleransi berasal dari aparat negara, warga, maupun organisasi masyarakat.
Pada 3 Juni 2021 terjadi demo penolakan pembangunan Masjid Muhammadiyah di Dusun Krajan, Desa Sraten Kecamatan Cluring, Banyuwangi, Jawa Timur.
Pada 12 Juni 2022, Pemerintah Kabupaten Bireuen, Aceh, membongkar tiang Masjid Taqwa Muhammadiyah di Desa Sango karena terganjal izin mendirikan bangunan (IMB).
Pada 5 Januari 2023, aparat bersama kelompok masyarakat membubarkan paksa acara Jalsa Salanah Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Jawa Timur di Telaga Ngebel, Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo.
Pada 5 Mei lalu sekelompok warga di Tangerang Selatan menyerang sekumpulan mahasiswa Katolik yang sedang beribadah doa Rosario, dengan alasan mengganggu kenyamanan warga. Sebelumnya pada 2 April lalu pemerintah daerah dan warga di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatra Utara, menolak pembangunan sebuah wihara karena dianggap belum memenuhi syarat atau regulasi yang ditetapkan.
Hak seluruh individu untuk memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinannya masing-masing telah dijamin dalam Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.