Perubahan Wantimpres Jadi DPA Dinilai Bertentangan dengan Konstitusi dan Semangat Reformasi
Usulan perubahan RUU Wantimpres ini, kata Feri, cukup janggal sebab perubahan RUU Wantimpres ini mendekati akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo
Penulis: Erik S
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com Erik Sinaga
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Perubahan Revisi Undang-Undang Wantimpres menjadi nomenklatur Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dinilai menyalahi konstitusi RI dan bertentangan dengan semangat reformasi.
Pasalnya, kata pakar hukum tata negara Feri Amsari, dalam Bab 4 UUD 1945 hasil amandemen menghapus DPA. Hasil diskusi dari para pelaku perubahan UUD 1945, maka penghapusan ini dibangun untuk mengefisiensi dan mengevektifitaskan pemurnian sistem presidensial.
"Oleh karena itu DPA dihapuskan dan presiden melalui UU akan diberikan wewenang untuk membentuk Wantimpres yang berada di bawah kuasa presiden atau bagian staf presiden di Istana Negara," kata Feri ketika dihubungi, Jumat (12/7/2024).
Usulan perubahan RUU Wantimpres ini, kata Feri, cukup janggal. Soalnya, perubahan RUU Wantimpres ini mendekati akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo.
"Karenanya kuat dugaan Presiden Jokowi menghendaki jabatan sebagai ketua DPA, sehingga kemudian melakukan perubahan yang menyebabkan tidak lagi DPA berada di bawah kewenangan presiden, tetapi ada di lembaga sendiri atau negara baru," tambah Feri.
Baca juga: Watimpres Turun Tangan Kawal Kasus Dugaan Pelecehan Finalis Miss Universe Indonesia
Karena itu, kata Feri, usulan DPA yang digulirkan Baleg DPR tidak sesuai dengan UUD 1945, dan cenderung melanggar serta bertentangan terhadap konstitusi.
"Semestinya presiden harus menyadari bahwa ini tidak elok hanya sekedar mengejar jabatan ketika sedang berakhir, lalu membuat lembaga baru. Dan bagi presiden terpilih ini juga berbahaya karena presiden tidak lagi dimurnikan kekuasaannya. DPA berpotensial mengendalikan atau memberikan masukan yang sebenarnya lebih mirip pengarahan terhadap presiden terpilih," kata Feri.
Berdasarkan fakta itu, kata Feri, pihaknya menilai langkah politis Jokowi di akhir masa jabatannya sangat bertentangan dengan UUD 1945. Apalagi usulan Jokowi itu dinilai karena bertabrakan satu sama lain terhadap konstitusi.
Secara terpisah, pakar hukum tata negara Aan Eko menilai, usulan DPR soal RUU Wantimpres menjadi DPA sangat bertentangan dengan semangat reformasi.
"Karena, dalam semangat reformasi ketika itu beberapa lembaga negara yang tidak punya relevansi dengan negara hukum itu sudah dihapus, direvitalisasi," kata Aan.
Usulan DPA baru yang akan menjadi lembaga di luar kepresidenan, kata Aan, tentu akan menjadikan fungsinya tidak sesuai dengan hakikat kedudukan sebagai lembaga pertimbangan presiden.
"Kalau DPA dikeluarkan dari cabang eksekutif maka DPA ini seolah-olah menjadi _check and balance_ terhadap presiden, sebagaimana Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, DPR dan DPD. Itu kan menjadi check and balace untuk mengimbangi kekuasaan presiden," kata Aan lagi.
Untuk diketahui, kata Aan, Padahal, DPA merupakan pihak yang memberikan pertimbangan dan nasihat kepada presiden. Tetapi, bila DPA menjadi lembaga yang mandiri, tentu hal tersebut bertentangan dengan fitrahnya.