LPPOM MUI Sebut Festival Non-halal tak Perlu Dipersoalkan: Selama tak Mengganggu dan tak Menyesatkan
LPPOM MUI menilai festival non-halal yang pernah digelar di Solo, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu, mestinya tidak perlu dipermasalahkan.
Editor: Dodi Esvandi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) menilai festival non-halal yang pernah digelar di Solo, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu, mestinya tidak perlu dipermasalahkan.
"Selama pelaksanaannya tidak mengganggu dan menyesatkan masyarakat muslim atau berpeluang mengontaminasi produk yang dikonsumsi masyarakat muslim,” ujar Direktur Utama LPPOM MUI, Muti Arintawati dalam keterangannya yang diterima Tribunnews, Sabtu (20/7/2024).
Hal itu disampaikan Muti Arintawati menanggapi kasus penolakan festival kuliner non-halal di Solo dan wisata halal di Labuan Bajo beberapa waktu silam.
Festival kuliner non-halal di Solo itu sebelumnya sempat dihentikan karena protes warga.
Hingga akhirnya festival ini dibuka kembali di Solo Paragon Mal di Jalan Yosodipuro, Solo.
Baca juga: BAZNAS RI Dorong Optimalisasi Zakat untuk Pengembangan Budaya Halal pada Usaha Mikro
Muti menekankan bahwa adanya klaim non-halal pada sebuah produk justru jauh lebih baik daripada produk yang sesungguhnya haram, tapi tidak memberikan informasi apa pun sehingga dapat menyesatkan konsumen muslim.
Alasannya sudah jelas, untuk produk yang klaim non-halal hanya ditujukan bagi non-muslim.
Kejelasan label atau klaim non-halal untuk produk-produk yang mengandung bahan haram sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.
Pasal 92 menyebutkan pelaku usaha yang memproduksi produk yang berasal dari bahan yang diharamkan, wajib mencantumkan keterangan tidak halal berupa gambar, tanda, atau tulisan.
LPPOM MUI kata Muti juga sangat menghargai keberagaman umat di Indonesia.
Baca juga: Akselarasi Kepemilikan Sertifikat Halal untuk Pelaku Usaha Kecil Menengah Perlu Terus Didorong
Dalam hal konsumsi produk halal, sertifikat menjadi bukti yang menegaskan sebuah produk telah melakukan serangkaian proses pemeriksaan sehingga mampu dipastikan kehalalannya.
Muti menekankan bahwa produk halal hanya dihasilkan dari bahan-bahan yang tidak diragukan kehalalannya dan diproses pada fasilitas yang bebas dari kontaminasi bahan haram dan najis.
Karena fasilitas produksi juga merupakan faktor penentu kehalalan produk, maka audit harus dilakukan dengan melihat proses produksi secara langsung (áinul yaqiin) di lokasi produksi.
Audit harus dilakukan saat proses produksi sedang berlangsung sehingga auditor bisa memverifikasi dan mengonfirmasi bahan-bahan yang digunakan melalui formula atau catatan produksi.
Untuk memperkuat keyakinan bahan-bahan yang digunakan, maka auditor juga harus melihat penyimpanan bahan dan produk di gudang, memeriksa dokumen pembelian bahandan mengamati kemungkinan-kemungkinan kontaminasi oleh bahan yang haram dan najis selama proses produksi dan penyimpanan.
Baca juga: Festival Kuliner Non Halal Sempat Dihentikan Imbas Protes Ormas Dewan Syariah Kota Surakarta
Untuk memberikan jaminan keberlangsungan proses produksi halal pelaku usaha harus menerapkan Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH).
“Adanya deklarasi halal atau non halal, terlebih lagi jika dibuktikan oleh pihak ketiga, memberikan kejelasan bagi seluruh pihak terkait kehalalan dan keharaman sebuah produk," kata Muti.
"LPPOM selaku Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) mengambil peran tersebut sejak 35 tahun yang lalu. Apa yang dikerjakan oleh LPPOM selama ini merupakan bentuk nyata kami menerapkan prinsip himmayatul ummah, yaitu, menjaga umat dari makanan yang syubhat apalagi haram,” terang Muti.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.