Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pengacara Korban Kekerasan Seksual di UII Yogyakarta Jadi Tersangka, Begini Respon Kementerian PPPA

Ratna Susianawati berharap ada kebijakan dari pihak aparat penegak hukum dalam melihat sudut pandang kasus yang ditangani tersangka

Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in Pengacara Korban Kekerasan Seksual di UII Yogyakarta Jadi Tersangka, Begini Respon Kementerian PPPA
Istimewa
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ratna Susianawati 

Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyoroti  penetapan tersangka terhadap, Meila Nurul Fajriah, pendamping hukum para korban dugaan kasus kekerasan seksual di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Ratna Susianawati menyatakan prihatin atas penetapan tersangka kepada pendamping korban.

Dirinya berharap ada kebijakan dari pihak aparat penegak hukum dalam melihat sudut pandang kasus yang ditangani tersangka yang adalah pengacara sekitar 30 korban kekerasan seksual

Pendamping korban, kata Ratna, memiliki hak impunitas yang melekat pada profesi mereka ketika menjalani tugasnya dan tidak dapat dituntut, baik itu secara pidana ataupun perdata.

"Dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, menjelaskan bahwa Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan Bantuan Hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan iktikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan sesuai Standar Bantuan Hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau Kode Etik Advokat,” ujar Ratna melalui keterangan tertulis, Minggu (28/7/2024).

Baca juga: Tersangka Pembunuh Anak Kandung Kabur dari Rutan Polresta Serang Kota, Ini Pernyataan Kapolresta

Hal ini, menurut Ratna, menjadi catatan penting bahwa profesi pengacara korban kekerasan seksual belum sepenuhnya terlindungi oleh hukum.

Berita Rekomendasi

Selain itu, Ratna menambahkan bahwa dalam UU UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat dalam Pasal 15 menyebutkan bahwa advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.

Jaminan perlindungan hukum terhadap pendamping korban juga disebutkan dalam Undang-Undang Nomer 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

“Dalam Undang-Undang Nomer 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yaitu Pasal 29 disebutkan dengan jelas bahwa Pendamping Hukum yang sedang melakukan Penanganan terhadap Korban tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas pendampingan atau pelayanannya, kecuali jika pendampingan atau pelayanannya diberikan tidak dengan iktikad baik," tutur Ratna.

"Pasal sebelumnya yaitu Pasal 28 menegaskan bahwa Pendamping berhak mendapatkan Pelindungan hukum selama mendampingi Korban dan Saksi di setiap tingkat pemeriksaan,” tambah Ratna.

Ratna menyampaikan jika merasa ada pelanggaran kode etik pada seorang pengacara maka dapat dilaporkan terlebih dahulu ke Dewan Kehormatan Advokat untuk diproses selanjutnya.

Sosialisasi terkait UU TPKS, menurut Ratna, perlu dilakukan secara masif agar pelindungan hukum bagi pendamping korban dapat diketahui oleh masyarakat luas serta agar memberikan ketenangan bagi pendamping korban saat menjalankan tugasnya. 

Dirinya juga mengingatkan dipertimbangkannya pemahaman perspektif gender dalam proses hukum terhadap korban kekerasan seksual.

“Pemahaman perspektif gender dalam keseluruhan proses penanganan sangat penting untuk memberikan kepentingan terbaik bagi korban maupun pendampingnya. Hal inilah yang harus diperhatikan setiap aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan juga anak. Itu sebabnya perlindungan terhadap pendamping hukum korban sangat penting mengingat mereka memiliki kode etik untuk mengungkapkan informasi korban yang didampinginya,” tegas Ratna.

Dalam hal pendampingan terhadap para korban, Ratna menyatakan KemenPPPA telah melakukan koordinasi dengan Balai Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan anak dan Pengendalian Penduduk (DPPPA) Provinsi DIY. 

Balai PPPA Provinsi DIY akan melakukan penjangkauan untuk memastikan keadaan korban mengingat kasus tersebut mencuat kembali setelah penetapan pendampingnya sebagai tersangka.

Seperti diketahui, Polda DIY telah menetapkan Meila Nurul Fajriah sebagai tersangka pencemaran nama baik terkait pendampingannya pada kasus kekerasan seksual di Yogyakarta. 

Sebagai Pengacara LBH Yogyakarta, Meila telah membela 30 korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh IM, mantan pelajar sekaligus Mahasiswa Berprestasi Universitas Islam Indonesia (UII).

Sebelumnya, Universitas Islam Indonesia juga telah melakukan penindakan dengan membentuk tim pencari fakta untuk mengumpulkan keterangan dari para penyintas dan juga tim pendampingan psikologis. 

Pencarian fakta tersebut menghasilkan temuan adanya 11 korban pelecehan seksual IM. Mengingat bahwa tidak semua korban tidak mau menyampaikan kesaksiannya karena trauma, malu, takut/cemas, bahkan hingga stress. 

Kesaksian 11 penyintas tersebut kemudian menjadi landasan Ull untuk mencabut gelar Mahasiswa Berprestasi tahun 2016 yang disematkan kepada IM.

Pencabutan tersebut digugat oleh IM ke PTUN dengan nomor perkara 17/G/2020/PTUN.YK16 Sep 2020. Namun PTUN menolak gugatan yang diajukan.

Ditolak di PTUN, IM kemudian melaporkan Meila ke Polda DIY. Laporan terhadap Meila oleh IM terjadi karena siaran pers yang menyebutkan nama lengkap IM. 

Alih-alih mendukung dan melindungi korban, Polda DIY malah menetapkan Meila sebagai tersangka. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas