Hakim Agung Gazalba Beli Rumah Rp 7,5 Miliar, Nggak Pakai Cicil Langsung Dibayar Tunai Uang 2 Koper
Hakim Agung nonaktif, Gazalba Saleh, pernah membeli satu unit rumah di Kota Bekasi, Jawa Barat, seharga Rp 7,5 miliar di Bekasi.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Hasanudin Aco
Laporan wartawan Tribunnews.com, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim Agung nonaktif, Gazalba Saleh, pernah membeli satu unit rumah di Kota Bekasi, Jawa Barat, seharga Rp 7,5 miliar di Bekasi.
Hakim di Mahkamah Agung (MA) ini tidak mencicil rumah itu tapi langsung dibayar tunai alias cash.
Hal itu sebagaimana disampaikan Moch Kharrazi, pemilik rumah tersebut, saat dihadirkan jaksa sebagai saksi sidang kasus dugaan penerimaan gratifikasi dan TPPU yang melibatkan Gazalba Saleh.
Dalam persidangan, Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri menanyakan Kharrazi mengenai kesepakatan harga jual-beli satu unit rumah tersebut.
"Berapa jadinya dealnya?" tanya Ketua Majelis Hakim, Fahzal Hendri di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (5/8/2024).
"Untuk rumahnya itu di (harga) Rp 7,5 miliar," jawab Kharrazi.
Hakim Fahzal kemudian menanyakan berapa kali Gazalba membayar rumah itu.
Kharrazi menjelaskan transaksi beli rumah itu selesai dalam satu hari.
"Transfer bank atau pembayaran tunai?" tanya Hakim Fahzal.
"Tunai, Yang Mulia," jawab Kharrazi.
"Rp 7,5 miliar tunai pak?" tanya Hakim lagi memastikan.
"Iya, Yang Mulia," jawab saksi.
Hakim Fahzal lantas menanyakan Kharrazi terkait bentuk uang yang digunakan dalam transaksi tersebut.
"Dengan uang rupiah atau dengan valas (valuta asing)?" tanya Hakim Fahzal.
"Rp 3 miliar sekian itu tunai, rupiah," jawab saksi.
"Rp 3 miliar rupiah?" tanya Hakim.
"Iya, kemudian saya setorkan ke Bank Syariah Indonesia di dekat Cut Mutia (Jakarta) juga," jelas saksi.
Kata Kharrazi, transaksi jual-beli rumah itu dilakukannya dengan bertemu langsung Gazalba di salah satu bank di Jakarta.
Ia mengungkapkan ketika memasuki bank, Kharrazi menyebut Gazalba membawa tas dan dua buah koper yang berisi uang tunai.
"Kemudian masuk bank itu bawa tas gak?" tanya Hakim.
"Bawa tas dengan koper Yang Mulia," jawab saksi.
"Koper itu maksudnya bawa uang?" tanya Hakim Fahzal.
"Di dalam koper isinya uang, Yang Mulia," jelas Saksi.
"Berapa koper pak?" tanya Hakim mendalami.
"Kalau seingat saya dua (koper), Yang Mulia," jawab saksi.
Pakai KTP Asli
Selanjutnya, Kharrazi mengatakan transaksi itu tidak memakai KTP Gazalba.
Ia menjelaskan transaksi dengan KTP-nya dilakukan dengan tujuan agar uang Rp3 miliar itu dapat dikirimkan langsung ke rekening miliknya.
"Jadi saudara setor sendiri ke rekening saudara sendiri? Pakai KTP saudara, betul?" tanya Hakim yang kemudian dibenarkan oleh saksi.
Kemudian, Hakim Fahzal lanjut menanyakan perihal sisa pembayaran senilai Rp4,5 yang belum terbayarkan dari total harga Rp7,5 miliar harga rumah.
"Rp 4,5 (miliar) lagi gimana pak?" tanya Hakim.
"Kemudian setelah dari situ kita (Kharazzi dan Gazalba) kembali ke mobil, ke parkiran, terus saya terima Rp100 juta cash, saya masukin ke dalam tas," kata saksi.
Bayar Juga Pakai Dolar Singapura
Dengan demikian, setelah dibayarkan lagi Rp100 juta.
Sisa pembayaran pembelian rumah itu tinggal Rp4,4 miliar.
Untuk sisa sebesar Rp4,4 miliar itu, Kharrazi mengungkapkan pembayaran dilakukan menggunakan valas dolar Singapura.
Pelunasan itu masih dilakukan di hari yang sama.
"Rp4,4 (miliar) lagi gimana caranya bayarnya?" tanya Hakim Fahzal.
"(Gazalba) bawa dolar, Yang Mulia," jawab Kharrazi.
"Dolar apa?" tanya Hakim.
"Dolar Singapura, Yang Mulia," jawab saksi.
"Hari itu juga Pak?" tanya Hakim lagi.
"Hari itu juga," balas saksi.
"Berapa dolar Singapuranya?" tanya Hakim Fahzal.
"Sekitar $200 ribuan kalau enggak salah," jawab Kharrazi.
Dalam perkara ini, Gazalba Saleh didakwa menerima gratifikasi Rp 650 juta terkait pengurusan perkara di MA.
Terdakwa Gazalba diduga menerima gratifikasi itu bersama-sama pengacara yang berkantor di Wonokromo, Surabaya, yakni Ahmad Riyadh.
Uang ratusan juta itu diterima dari Galba Saleh lantaran diduga mengurus kasasi di MA atas nama Jawahirul Fuad.
"Perbuatan terdakwa bersama-sama dengan Ahmad Riyadh menerima gratifikasi berupa uang sejumlah Rp 650.000.000 haruslah dianggap suap karena berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban dan tugas terdakwa,” kata jaksa KPK Wahyu Dwi Oktafianto di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, 6 Mei 2024.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.