Soal Kasus Cula Badak, Kuasa Hukum Nilai JPU Sajikan Bukti yang Masih Sumir
Padahal, kata Petrus, surat dakwaan JPU secara kasat mata dibaca sebagai gambaran dugaan rekayasa alat bukti di tahap penyidikan
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Pandeglang, Banten, dalam kasus Cula Badak dengan perkara Nomor 93/Pid.Sus-LH/2024/PN.Pdl. atas nama terdakwa Liem Hoo Kwan Willy, diharapkan benar-benar cermat dan objektif melihat latar belakang perolehan alat bukti oleh penyidik, kemudian oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Banten tanpa "reserve" langsung dituangkan ke dalam surat dakwaan yang saat ini perkaranya diperiksa oleh PN Pandeglang.
"JPU dalam menyusun surat dakwaan jangan sampai menggunakan kacamata kuda sehingga berbagai kejanggalan hasil penyidikan tidak direvisi pada tahap prapenuntutan secara maksimal, sehingga semua hasil penyidikan Polda Banten, yang diduga kuat masih sumir semuanya diterima dan dituangkan ke dalam surat dakwaan," kata Kuasa Hukum Liem Hoo Kwan Willy, Petrus Selestinus, di Jakarta, Jumat (9/8/2024).
Baca juga: JPU Beberkan Alasan Tolak Bukti Baru atau Novum yang Diajukan Pihak Saka Tatal dalam Sidang PK
Padahal, kata Petrus, surat dakwaan JPU secara kasat mata dibaca sebagai gambaran dugaan rekayasa alat bukti di tahap penyidikan di mana penyidik sama sekali mengabaikan fakta-fakta lapangan di Tempat Kejadian Perkara (TKP) seperti "cula badak" yang disebut disimpan, dijual dan sebagainya oleh terdakwa.
Namun, Petrus mengatakan hingga saat ini tidak ada dan tidak dijadikan "barang bukti" hasil kejahatan atau jadi alat untuk kejahatan memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut, atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau luar Indonesia.
Kritisi Prapenuntutan
JPU, kata Petrus, harusnya memaksimalkan wewenangnya di tahap pra-penuntutan untuk meneliti secara seksama apakah berkas hasil penyidikan telah memenuhi syarat formil dan materiil untuk didakwakan dalam persidangan atau belum.
"Padahal fungsi pra- penuntutan itu sangat strategis untuk mencegah upaya kriminalisasi dan lain-lain. Di sini fungsi pra-penuntutan sepertinya mandul," sesalnya.
JPU, tegas Petrus, hanya membuat surat dakwaan berdasarkan alat bukti yang sangat sumir dan minimalis, sekadar sebagai pemenuhan syarat formil alat bukti antara lain asal ada saksi lebih dari seorang.
Kata dia jaksa mengabaikan saksi fakta di TKP yang disebut terjadi dalam yurisdiksi PN Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Barat dan Jakarta Pusat.
Dia menduga ada rekayasa saksi-saksi di Pandeglang agar memenuhi syarat jumlah sehingga perkara ini dapat disidangkan di PN Padeglang atas dasar ketentuan Pasal 84 ayat (2) KUHAP.
"Baik terdakwa Liem Hoo Kwan Willy maupun kami selaku Penasihat Hukum berharap keadilan ditegakkan dan di tangan Majelis Hakim, terdakwa memohon keadilan," jelas Petrus yang juga Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) ini.
Baca juga: JPU Beberkan Alasan Tolak Bukti Baru atau Novum yang Diajukan Pihak Saka Tatal dalam Sidang PK
Bukti JPU Dilumpuhkan Pendapat Ahli?
Menurut Petrus, jika dicermati bukti yang diuraikan dalam surat dakwaan hanya berupa percakapan via aplikasi WhatsApp (WA) antara terdakwa dan saksi Yogi Purwadi, maka hanya itulah bukti satu-satunya yang diandalkan penyidik dan menyuguhkan kepada JPU.
"Dengan bukti yang sangat sumir, seharusnya JPU menolak berkas perkara dan dikembalikan kepada penyidik untuk dilengkapi atau JPU menyatakan perkara tidak layak diajukan ke persidangan dan dihentikan penuntutannya," cetusnya.
Apalagi, lanjut Petrus, jika mengacu pada pendapat ahli Prof Dr Aan Asphianto yang disampaikan dalam persidangan di PN Pandeglang pada 31 Juli 2024 lalu, di mana ahli menjelaskan soal adagium hukum "Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali" dan Teori Kesalahan dihubungkan dengan posisi Wechat pada WA dalam UU No 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan menyimpulkan bahwa terdakwa Liem Hoo Kwan Willy tidak tepat dikenakan Pasal 21 ayat (2) huruf d UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem.
Sebab, jelas Petrus, pertama terdakwa tidak terbukti memperniagakan atau menyimpan Cula Badak.