Soal Usulan Komisi Yudisial Terkait Calon Hakim Ditolak DPR, Ini Kata Mahkamah Agung
Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Suharto merespons soal 12 calon hakim yang diusulkan Komisi Yudisial ditolak Komisi III DPR.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Bidang Non Yudisial sekaligus Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Suharto merespons soal 12 calon hakim yang diusulkan Komisi Yudisial ditolak Komisi III DPR.
Suharto menjelaskan, selama ini beban jumlah perkara yang masuk lebih dari 21.000 perkara per tahun.
Jumlah tersebut, katanya, memang masih bisa diselesaikan dengan baik oleh hakim yang ada saat ini.
Namun, jika ada tambahan hakim agung baru, maka dapat meringankan beban penyelesaian perkara yang banyak itu.
"Cuma kalau ada tambahan hakim agung baru dapat meringankan beban penyelesaian perkara," ucap Suharto, saat dihubungi Tribunnews.com, pada Minggu (1/9/2024).
Di sisi lain, Suharto mengatakan, hampir setiap tahun ada dua sampai empat orang hakim agung yang purna bakti karena sudah memasuki masa pensiun.
"Karena hampir tiap tahun ada 2 sampai 4 orang yang purna bakti karena genap 70 tahun," jelasnya.
Sebelumnya, Komisi Yudisial (KY) mengungkapkan sejumlah alasan melakukan diskresi berupa kelonggaran terhadap dua calon hakim agung Kamar Tata Usaha Negara (TUN) Khusus Pajak yang tidak memenuhi syarat.
Hal ini terkait Komisi III DPR RI yang menolak 9 calon hakim agung dan 3 calon hakim ad hoc HAM di Mahkamah Agung (MA), yang diusulkan KY. DPR menyoroti dua calon hakim agung Kamar TUN Khusus Pajak tersebut tidak memenuhi syarat minimal usia calon hakim.
Anggota sekaligus Juru Bicara KY Mukti Fajar Nur Dewata mengungkapkan, hal itu merupakan keputusan pleno untuk melakukan kelonggaran persyaratan administrasi atau diskresi berdasarkan Pasal 22 UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi.
Keputusan tersebut diambil panitia seleksi (pansel) dengan mengacu pada dua alasan, yakni hakim pajak merupakan jalur hakim karir yang berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, disyaratkan berpengalaman paling sedikit 20 tahun menjadi hakim.
Di sisi lain, katanya, pengadilan pajak baru dibentuk pada tahun 2002 dan berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, syarat usia minimal menjadi hakim pajak adalah 45 tahun.
"Dengan demikian, tidak ada hakim pajak berpengalaman 20 tahun menjadi hakim. Menurut data KY, hakim paling senior di Pengadilan Pajak hanya mempunyai pengalaman 15 tahun sebagai hakim," ungkap Mukti, dalam keterangannya, pada Kamis (29/8/2024).
Alasan lainnya, Mukti menjelaskan, kebutuhan MA akan hakim agung TUN khusus pajak sangat mendesak.
Merinci soal situasi mendesak tersebut, ia mengatakan, jumlah tumpukan perkara pajak saat ini, ada sebanyak 7000 lebih dan MA hanya mempunyai 1 orang hakim agung TUN Khusus Pajak.
Sementara pendaftar calon hakim agung Kamar TUN khusus Pajak terbatas, sehingga diskresi tersebut diperlukan untuk memenuhi kebutuhan MA.
Selain ketentuan tersebut, Anggota KY itu menjelaskan, sudah ada preseden seleksi calon hakim agung di masa sebelumnya, dengan isu yang sama, yakni pengangkatan empat hakim agung militer yang belum memenuhi syarat 20 tahun.
Lebih lanjut, Mukti menyampaikan, saat ini KY tengah menunggu surat resmi dari Komisi III DPR tentang penolakan semua calon hakim agung dan calon hakim ad hoc HAM di MA tahun 2024.
"Surat tersebut nantinya akan diplenokan untuk menentukan sikap kelembagaan KY," tutur Mukti.
Sebelumnya, Komisi III DPR RI tidak menyetujui semua calon hakim agung dan calon hakim adhoc HAM yang diusulkan Komisi Yudisial (KY).
Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul menegaskan hal tersebut, dalam Rapat Internal Komisi III DPR RI membahas calon hakim agung dan hakim adhoc pada Mahkamah Agung (MA), di gedung DPR, Jakarta, pada Rabu (28/8/2024).
"Bedasarkan pandangan fraksi yang tadi dibacakan dan tadi tanyakan ulang oleh masing-masing fraksi dan pimpinan, maka Komisi III DPR RI tidak memberikan persetujuan secara keseluruhan terhadap calon hakim agung dan calon hakim adhoc HAM pada Mahkamah Agung tahun 2024 yang diajukan oleh Komisi Yudisial kepada DPR RI," ucap Pacul, dikutip dari laman YouTube Komisi III DPR, Rabu.
Diketahui, Komisi Yudisial mengusulkan total sebanyak 12 calon hakim agung dan calon hakim adhoc HAM kepada DPR. Hal tersebut sebagaimana surat nomor 1653/PIM/RH.01.07/07/2024.
Selanjutnya, Pacul mengonfirmasi kepada seluruh peserta rapat internal Komisi III, mengenai usulan dari fraksi Demokrat dan fraksi PKS agar DPR melakukan pemanggilan terhadap KY untuk dapat mempertanggungjawabkan proses seleksi hakim yang diduga melanggar peraturan perundang-undangan.
"Kemudian terhadap usulan untuk kemudian memanggil KY dan memberikan peringatan, apakah disetujui fraksi Demokrat dan Fraksi PKS?" tanya Pacul.
"Setuju," jawab semua peserta rapat.
Sebelumnya, fit and proper test calon hakim agung oleh DPR seharusnya berlangsung kemarin, pada Selasa (27/8/2024). Namun, Komisi III DPR RI memutuskan untuk menunda proses tersebut karena menemukan dua calon hakim agung yang tidak memenuhi syarat sesuai undang-undang yang berlaku.
"Fraksi Partai Gerindra mengecek ternyata ada Dua calon hakim agung ini yang tidak memenuhi syarat soal usia 20 tahun menjadi hakim, yang satu baru delapan tahun diangkat menjadi hakim, yang satu baru 14 tahun,” kata Wakil Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman.
Ia kemudian menyebut, ada indikasi panitia seleksi (pansel) calon hakim agung dan calon hakim adhoc HAM melanggar aturan karena memberikan diskresi meloloskan dua calon hakim agung yang tidak memenuhi syarat.