Soal PK Mardani Maming, Pakar Hukum Minta MA Independen
Suparji menambahkan keputusan MA akan menimbulkan ketidakadilan apabila memutuskan PK dengan landasan intervensi dan 'cawe-cawe'.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Acos Abdul Qodir
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Hukum Pidana Universitas Al Azhar Jakarta Suparji Ahmad meminta majelis hakim Mahkamah Agung (MA) independen memutuskan peninjauan kembali (PK) yang diajukan mantan Bupati Tanah Bumbu, Mardani H Maming.
Menurut dia, putusan PK terpidana korupsi izin usaha pertambangan (IUP) itu harus berdasarkan alat bukti
“Hakim memutuskan suatu perkara berdasarkan alat bukti bukan karena intervensi. Harus begitu,” kata Suparji, dalam keterangannya pada Jumat (6/9/2024).
Suparji mengingatkan, majelis hakim Mahkamah Agung berpotensi melanggar hukum apabila memutuskan PK berlandaskan intervensi.
Suparji menambahkan keputusan MA akan menimbulkan ketidakadilan apabila memutuskan PK dengan landasan intervensi dan 'cawe-cawe'.
“Ya melanggar hukum (jika majelis hakim memutuskan dengan landasan intervensi,-red) dan menimbulkan ketidakadilan,” tambahnya.
Baca juga: Hakim Ingatkan Petinggi PT RBT Bisa Jadi Terdakwa Karena Lindungi Harvey Moeis di Kasus Timah
Mardani H Maming sendiri awalnya divonis 10 tahun penjara oleh Majelis Hakim di Pengadilan Tipikor Banjarmasin pada 10 Februari 2023 terkait perkara suap pengalihan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi (OP) saat masih menjabat sebagai Bupati Tanahbumbu.
Selain itu, Majelis Hakim yang diketuai oleh Heru Kuntjoro juga menjatuhkan denda sebesar Rp 500 juta rupiah dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 4 bulan.
Tidak hanya itu, terdakwa Mardani H Maming juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 110.601.731.752 (Rp 110,6 M).
Jika tidak membayar dalam waktu satu bulan setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap, harta bendanya akan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Kemudian jika terdakwa tidak memiliki harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut maka dipidana penjara selama dua tahun.
Tak terima atas putusan tersebut, Mardani pun mengajukkan banding, dan Jaksa KPK pun tak mau kalah, karena juga ikut mengajukkan banding ke PT Banjarmasin.
Oleh PT Banjarmasin, hukuman Mardani pun justru diperberat melalui putusan dengan nomor 3/PID.SUS-TPK/2023/PT BJM menjadi 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta oleh PT Banjarmasin.
Mardani pun melalui penasihat hukumnya mengajukkan kasasi, dan dalam putusannya MA menolaknya.
Masih tidak puas atas putusan tersebut, Mardani dan penasihat hukumnya pun rupanya mengajukkan PK.
Adapun permohonan PK diajukkan karena pemohon menilai adanya kekhilafan dan juga pertentangan dalam putusan Majelis Hakim.
Baca juga: 3 Poin yang Memberatkan Pimpinan KPK Nurul Ghufron Hingga Disanksi Pemotongan Gaji, Tak Kooperatif
Jaksa KPK Greafik Lioserte sebelumnya meminta agar Mahkamah Agung (MA) menolak PK tersebut.
“Kami berkesimpulan tidak terdapat satu pun alasan yang dijadikan sebuah dasar untuk menyatakan bahwa putusan hakim telah terdapat kekhilafan. Baik putusan majelis di tingkat pertama, banding maupun kasasi,” kata Greafik beberapa waktu lalu sebagaimana dikutip dari Banjarmasin Post.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.