Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

5 Pengakuan Saksi di Sidang Korupsi Timah: Peran Ordal hingga Keuntungan Setengah Miliar Per Bulan

Dalam sidang itu terungkap ada peran orang dalam PT Timah terhadap CV Salsabila Utama, perusahaan smelter.

Penulis: Dewi Agustina
zoom-in 5 Pengakuan Saksi di Sidang Korupsi Timah: Peran Ordal hingga Keuntungan Setengah Miliar Per Bulan
Tribunnews.com/Fahmi Ramadhan
Sidang lanjutan kasus korupsi timah dengan terdakwa Robert Indarto selaku Direktur Utama PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS) dan Komisaris PT SIP, Suwito Gunawan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (4/8/2024). 

"Tahun 2020 kami menerima pendapatan sebesar Rp 315.584.116.009 (Rp315,5 miliar)," jawab Ayu.

"Jadi total sekitar Rp 1 (triliun)?" tanya Hakim.

"Total Rp 1,1 triliun Yang Mulia," ucap Ayu.

4. Untung Setengah Miliar Per Bulan




Liu Asak alias Acau, penambang liar di wilayah Izin Usaha Penambangan (IUP) PT Timah Tbk mengaku mampu mendapat keuntungan mencapai setengah miliar per bulan dari hasil kegiatan tambang ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk.

Liu dalam sidang mengaku bahwa dirinya merupakan penambang liar atau ilegal.

"Kalau (profesi) saudara apa?" tanya Jaksa.

"Kalau saya termasuk penambang liar. Maksudnya ya kalau memang lokasinya di IUP PT Timah ya kita izin ke PT Timah," kata Liu Asak.

BERITA TERKAIT

Jaksa lantas mengulik Liu soal penyaluran hasil penambangan ilegal yang sudah ia dapatkan dari wilayah IUP PT Timah.

Liu mengatakan, bijih timah yang telah ia dapatkan dari hasil penambangan ilegal itu dirinya juga baik ke PT Timah maupun ke perusahaan smelter swasta.

"Ada sebagian yang dijual selain ke PT Timah? Ke smelter swasta ada?" tanya Jaksa.

"Ada. (Kalau) Kita butuh duit, kita mau cepat, karena biayanya besar pak," ucap Liu Asak.

Lebih lanjut, Liu pun menjelaskan pendapatan yang ia terima dari hasil penjualan bijih timah ke dua perusahaan tambang itu bervariasi.

Kata dia, nominal itu berdasarkan kadar bijih timah yang dirinya dapat dari hasil penambangan ilegal tersebut.

Semakin tinggi kadar timah yang dihasilkan maka semakin tinggi pula bayaran yang ia dapat.

Hanya saja ia mengaku bahwa pihak smelter swasta bisa membayar lebih tinggi bijih timah yang ia hasilkan ketimbang dijual kepada PT Timah Tbk.

"Kalau kadar SN memang pendapatannya dari semua smelter punya harga pak. Cuma kalau kita menambang dari hasil yang kita dapat, kita cuci tambang itu tergantung dari hasil kandungannya bagus atau jelek," ucap Liu.

Adapun satu perusahan swasta yang melayani penjualan bijih timah dirinya adalah PT Refined Bangka Tin (RBT), perusahaan yang diwakili oleh Harvey Moeis.

Liu menyebut saat itu dirinya pernah bertemu dengan kaki tangan dari PT RBT bernama Wendri.

"Saudara pernah dengan PT RBT?," tanya Jaksa.

"Pernah. Kaki tangan lah bahasanya, itu orang RBT. Kalau timah kita dijemput, kita kan gak ada urusan dia mau jual kemana," ucap Liu.

"Siapa namanya?," tanya Jaksa lagi.

"Wendri," ucapnya.

Liu menyebut meski saat itu Wendri tak menyebut secara rinci dari mana ia berasal.

Namun, dirinya menganggap bahwa Wendri merupakan perwakilan dari PT RBT.

Ia pun menyebut bahwa bijih timah yang ia jual ke PT RBT melalui Wendri menggunakan skema beli putus.

"Dia (Wendri) mengenalkan diri kerja di RBT?" tanya Jaksa.

"Dari bahasanya iya (Wendri orang PT RBT). Tapi itu bijih timahnya sudah diambil kita tidak tanya dibawa ke smelter mana. Soalnya bijih timah dijemput, dibayar, ya selesai," kata Liu Asak.

Kemudian Liu juga mengungkap bahwa selain PT RBT terdapat cukup banyak pembeli-pembeli liar yang hendak membeli bijih timah ilegal tersebut.

Hanya saja ia tak menjelaskan secara rinci mengenai siapa saja pembeli-pembeli liar yang hendak membeli bijih-bijih timah ilegal yang dihasilkan oleh pihaknya.

"(Jual) Ke Smelter lain?" tanya Jaksa.

"Wah itu enggak bisa kita pastiin pak. Soalnya pembeli liar itu banyak sekali pak," jawab Liu.

"Oh pembelinya banyak, harga bisa bersaing ketat ya?" tanya Jaksa memastikan.

"Iya," sahut Liu.

Setelah itu Jaksa mengulik nominal yang dihasilkan Liu Asak selaku penambang liar dari penjualan bijih timah yang dihasilkan.

Liu pun mengaku bahwa dirinya bisa menghasilkan ratusan kilogram dengan nominal Rp 15 juta per hari dari setiap melakukan penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah.

Hanya saja kata dia, hal itu juga dipengaruhi daripada cuaca yang ada sekitar lokasi penambangan.

"Kalau cuacanya bagus bisa mendukung ya kita satu hari adalah dua kantong, sekitar seratus kilo," ungkap Liu Asak.

"Kalau rupiah?" tanya Jaksa.

"Kalau bahasa harganya 150 (Kg) ya 15 juta (Rp 15 juta)," ucap Liu Asak.

"150 kali 15 juta?" tanya Jaksa lagi.

"150 ribu per kilogram kali bisa 100 kilo," jelas Liu.

"150 juta?" tanya Jaksa.

"15 juta. Per hari," kata Liu.

Mendengar jawaban Liu, jaksa sempat kaget lantaran nominal yang dihasilkan dari penambangan ilegal itu terbilang cukup banyak.

Bahkan ketika dijumlahkan pendapatan Liu Asak dari hasil penambangan ilegal dalam kurun waktu satu bulan bisa mencapai setengah miliar rupiah.

"Banyak juga ya. Pendapat per bulannya berapa?" tanya Jaksa.

"Setengah miliar," jawab Liu.

5. Keuntungan Penambang Jual Bijih Timah ke Perusahaan Smelter

Sementara itu Liu Asak alias Acau, penambang liar di wilayah Izin Usaha Penambangan (IUP) PT Timah Tbk, mengaku kerap menjual bijih timah ilegal ke perusahaan smelter swasta ketimbang perusahaan milik negara tersebut.

Liu menyebut alasannya kerap menjual bijih timah ke smelter swasta lantaran agar ia bisa memperoleh pundi-pundi uang secara cepat untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya.

Sedangkan jika bijih-bijih timah tersebut dijual ke PT Timah maka dirinya harus melewati beberapa prosedur.

Hal itu diungkapkannya ketika hadir sebagai saksi dalam sidang lanjutan kasus korupsi timah dengan terdakwa Harvey Moies Cs di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (9/9/2024).

"Soalnya kalau kita ngirim ke PT Timah mesti ada prosedur pak, harus ikut. Maksudnya gini kita harus lobi, keringin, tonasenya juga harus (disesuaikan). Kalau kita butuh uang, mau cepet, gaji operasional," ujarnya.

"Kita yang di lapangan kalau kita butuh cepet ya kita jual, soalnya pembeli banyak," sambungnya.

Salah satu smelter swasta yang menjadi tujuan penjualan bijih timah Liu yakni PT Refined Bangka Tin (RBT).

PT RBT sendiri diketahui merupakan perusahaan yang dibantu oleh terdakwa Harvey Moies untuk bekerjasama dengan PT Timah Tbk.

Acau pun mengaku pernah bertemu dengan kaki tangan dari PT RBT bernama Wendri.

Hanya saja saat itu Acau mengaku tak mempedulikan kemana lagi bijih timah itu dikirim Wendri setelah selesai melakukan jual beli.

"Kalau timah itu sudah dijemput kita gak ada urusan lagi timah itu mau dijual kemana," pungkasnya.

Duduk Perkara Kasus

Dalam kasus ini, terdakwa Direktur Keuangan PT Timah Emil Ermindra melalui CV Salsabila didakwa setidak-tidaknya telah memperkaya diri hingga ratusan triliun rupiah.

Jaksa menyebut totalnya mencapai Rp 986.799.408.690,00 (sembilan ratus delapan puluh enam miliar tujuh ratus sembilan puluh sembilan juta empat ratus delapan ribu enam ratus sembilan puluh rupiah).

CV Salsabila Utama didirikan eks Direktur Keuangan PT Timah Tbk Emil Ermindra, eks Dirut PT Timah Tbk Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, dan Tetian Wahyudi.

Emil dan Reza Pahlevi sengaja mendirikan CV Salsabila bertujuan untuk membeli bijih timah dari para penambang ilegal perorangan yang tidak bisa mereka lakukan melalui PT Timah.

Kemudian PT Timah membeli kembali bijih timah yang sudah dibeli oleh CV Salsabila dari penambang ilegal itu dengan nominal Rp 986,8 miliar.

Saat ini, Direktur Utama CV Salsabila Utama, Tetian Wahyudi berstatus buron dalam kasus korupsi timah.

Tetian diduga melarikan diri usai penyidik kejaksaan tak mendapati yang bersangkutan di rumahnya saat hendak melakukan pemeriksaan.

Dalam kasus ini Emil Ermindra didakwa Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas