Anggota DPR RI Sebut RPMK Soal Produk Hasil Tembakau Minim Keterlibatan Publik
Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menyuarakan kritiknya terhadap Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK).
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Berbagai pihak terus menyuarakan penolakan terhadap Peraturan Pemerintah 28/2024 (PP No. 28 Tahun 2024) tentang Kesehatan yang diturunkan ke dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik, terutama pada pasal-pasal terkait Industri Hasil Tembakau.
Salah satunya datang dari Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun. Melalui forum diskusi bertajuk Ruang Rembuk: Menakar Regulasi dan Dinamika Ekonomi yang membawa topik ‘Wacana Kebijakan Kemasan Polos pada Produk Tembakau’, ia menyuarakan kritiknya terhadap regulasi ini.
Misbakhun menilai, aturan produk Industri Hasil Tembakau, terutama di PP 28 tahun 2024 sudah keluar dari jalur sebagaimana mestinya. Menurutnya, aturan tersebut dapat mengganggu keberlangsungan industri hasil tembakau, yang jika dibiarkan juga bisa berdampak pada kepentingan nasional.
Baca juga: Komisi XI DPR Kritik Pembatasan Produk Tembakau di RPMK: Pemerintah Lupa Kontribusinya
Ia mengatakan, para pengambil kebijakan juga perlu melihat polemik RPMK di luar dari aspek kesehatan karena kontribusi industri tembakau yang begitu besar terhadap perekonomian Indonesia.
“Bisa dibilang ekonomi negara kita ditopang oleh rokok, inilah national interest yang saya maksud. Ada petani, industri tembakau, bisnis-bisnis kecil yang bergantung pada rokok yang harus kita hormati jika membicarakan aturan ini. Jadi saya memutuskan untuk membela mereka, karena ini kepentingan nasional,” ucap Misbakhun.
Sependapat dengan Misbakhun, Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo juga menekankan pentingnya kontribusi industri rokok.
“Pengendalian untuk kesehatan boleh, tapi kita tidak dapat mengesampingkan bahwa ada Rp 300 triliun dari industri rokok ini. Ini angka yang sangat besar. Kalau kita mau melihat dari sisi fiskal, pendapatan, tenaga kerja, kita harus mengakui ada kontribusi besar dari industri ini,” ucapnya.
Rahmad menggarisbawahi bahwa pertembakauan ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Mengingat kebijakan ini berimplikasi pada aspek sosial, kesehatan, ekonomi dan hal lainnya.
"Industri tembakau adalah aset kita dalam lokomotif pembangunan. Makanya ketika mengambil kebijakan dan berimplikasi kepada ekonomi kepada pekerja, kehadirannya tidak hanya dapat dilihat dari sisi kesehatan saja," imbuhnya.
"Ketika salah kebijakan, ketika tergesa-gesa, tidak hati-hati, implikasinya dari sisi ekonomi besar. Salah satunya adalah berapa juta rakyat kita yang hidup dari pertembakauan," kata Rahmad.
Baca juga: Ada Wacana Kemasan Rokok Dibuat Polos, Pengusaha Sebut Bakal Matikan Industri Hasil Tembakau
Penyusunan Kebijakan Minim Keterlibatan Publik
Di saat yang sama, Penyusunan PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang produk tembakau dan rokok elektronik ternyata juga dianggap minim keterlibatan publik dan legislatif secara menyeluruh.
Tuntutan untuk transparansi dan keterlibatan publik makin keras disuarakan oleh berbagai pihak, mengingat proses perumusan yang terkesan dilakukan sepihak oleh Kemenkes.
Dalam Rapat Kerja 29 Agustus 2024 silam, para anggota DPR dari Komisi IX telah menyoroti komitmen Kemenkes untuk melibatkan DPR dan proses penyusunan yang bermasalah, terutama dalam transparansi prosedur karena tidak diberikan kesempatan untuk memberikan masukan melalui Forum Group Discussion (FGD).
Kritik ini muncul karena anggota dewan merasa tidak dilibatkan dalam proses penyusunan aturan ini, meskipun sebelumnya Kemenkes berjanji akan melibatkan DPR dalam pembuatan PP yang mengatur tentang produk tembakau dan rokok elektronik.
Politisi PKS, Kurniasih Mufidayati, mengungkapkan ketidakpuasannya karena meskipun ada komitmen untuk melibatkan DPR dalam proses pembuatan PP, pada kenyataannya, DPR tidak diundang dalam rapat-rapat terkait.
“Jadi, mana yang disebut keterlibatan publik? Pada tahapan ini, justru kami sebagai perwakilan publik tidak diajak bicara. Saya kira ini menjadi catatan dari penyusunan aturan,” ujarnya.
Rahmad pun menekankan, rapat kerja antara DPR dengan Menkes mewajibkan pemerintah untuk mengajak berbagai stakeholder, baik dari seluruh jajaran pemerintah, petani tembakau, serta serikat pekerja, agar bisa memahami aturan-aturan terbaru yang akan diterapkan oleh pemerintah.
Pasal 435 pada Peraturan Pemerintah 28/2024 yang mengatur tentang standardisasi kemasan pada produk tembakau dan rokok elektronik juga menjadi salah satu fokus dari diskusi ini. Sebagaimana diketahui, pemerintah saat ini sedang merancang aturan kemasan polos untuk rokok sebagai upaya menekan prevalensi perokok di Indonesia.
Kemenkes menargetkan aturan turunan dari PP tersebut untuk rampung pada minggu kedua September 2024 dalam bentuk Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes).
Ketua Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Henry Najoan menyebut bahwa pasal yang mengarah pada penerapan kemasan polos tersebut nantinya akan menyulitkan para pelaku industri hasil tembakau.
“Jika kemasan polos diterapkan, industri kretek atau rokok putih di Indonesia akan mengalami persaingan tidak sehat dan makin maraknya peredaran rokok-rokok ilegal,” ujarnya.
Henry juga mengungkapkan bahwa mengubah ke kemasan polos butuh investasi yang besar dan akan memengaruhi industri yang justru sedang berada di dalam masa sulit.
Sedangkan Rahmad menyebut bahwa penerapan aturan ini perlu mempertimbangkan apakah nantinya bisa bermanfaat atau malah menimbulkan masalah baru bagi negara, salah satunya adalah maraknya rokok-rokok ilegal.
"Untuk menekan prevalensi perokok tidak semata-mata membuat aturan, tapi juga butuh edukasi, peran tokoh-tokoh masyarakat tentang bagaimana bahaya (merokok) bagi anak-anak. Itu menjadi salah satu kunci," tandasnya.(*)
Baca juga: Ketua GAPPRI: Produk Tembakau dengan Kemasan Polos Tanpa Merek Dorong Rokok Ilegal Makin Marak
Penulis: M. Fitrah Habibullah | Editor: Anniza Kemala