Membicarakan Bunuh Diri Adalah Upaya Mencari Bantuan, Jangan Dianggap Gila
Banyak narasi negatif tentang bunuh diri. Misal, ada yang bercerita punya ide bunuh diri, dia langsung dianggap gila oleh lawan bicaranya.
Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dokter spesialis kesehatan jiwa dr Zulvia Oktanida Syarif, SpKJ ungkap jika mengubah narasi tentang bunuh diri bisa menyelamatkan nyawa.
"Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengajak kita mengkampanyekan mengubah narasi mengenai bunuh diri. Ternyata penting, narasi negatif hanya memperkuat stigma. Orang jadi tidak mau mencari bantuan," ungkapnya pada Seminar Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia Tahun 2024 secara virtual, Selasa (17/9/2024).
Ia mencontohkan salah satu narasi negatif, seperti ada yang bercerita punya ide bunuh diri, langsung dianggap gila.
Akibatnya, orang yang punya pikiran bunuh diri tetap diam dan takut meminta bantuan.
Selain itu, menurut Zulvia ada beberapa narasi yang dapat membahayakan orang lain.
Misalnya, orang yang memiliki keinginan bunuh diri itu lemah. Bunuh diri adalah pilihan yang tidak bisa diubah. Atau membicarakan bunuh diri akan menular pada orang lain.
Menurut dr Zulvia sudah seharusnya masyarakat mulai menumbuhkan narasi positif.
"Seperti bunuh diri adalah masalah kesehatan mental serius. Bantuan tersedia dan efektif, membicarakan bunuh diri adalah upaya mencari bantuan, sehingga narasi itu penting," tegasnya.
Apa itu Bunuh Diri dan Siapa Saja yang Berisiko
Zulvia menjelaskan jika bunuh diri adalah tindakan sengaja mengakhiri hidup sendiri.
Bunuh diri adalah masalah kesehatan mental yang sangat serius.
Baca juga: Guru di Sekolah Perlu Pahami Tanda-tanda Peserta Didik yang Rentan Bunuh Diri
"Bunuh diri bukan sekadar pilihan. Dan bisa terjadi pada siapa saja. Tanpa memandang usia, gender atau latar belakang sosial," imbuhnya.
Lebih lanjut Zulvia menjelaskan siapa saja orang yang berisiko melakukan bunuh diri.
Pertama, sebagian besar muncul dari orang yang punya gangguan mental.
Seperti orang dengan depresi, bipolar, skizofenia, gangguan kepribadian ambang, dan yang juga mengalami adiksi atau gangguan penggunaan zat adiktif.
Kedua, orang yang impulsif atau tengah menghadapi krisis kehidupan seperti masalah ekonomi, penyakit dan relasi.
Ketiga, orang yang berada dalam situasi sulit. Seperti berada di daerah konflik, bencana, mengalami kekerasan atau terisolasi lingkungan.
Termasuk orang yang mengalami perlakuan diskriminasi.