Wakil Ketua MUI Kiai Marsudi Bicara Pentingnya Toleransi di Hadapan Tokoh Agama Dunia
Wakil Ketua MUI KH Marsudi bicara pentingnya toleransi di depan tokoh agama dunia.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, PARIS - Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (Waketum MUI) KH Marsudi Syuhud memberikan pidato pada pertemuan pemuka agama Komunitas De Sant'Egidio, di Paris Prancis bertajuk ‘Imagine Peace’ (Imagine La Paix) pada Senin (24/9/2024).
Kegiatan ini dibuka Presiden Prancis Emmanual Macron.
Pada kesempatannya di hadapan tokoh agama internasional, Kiai Marsudi menyampaikan ceramahnya tentang toleransi antarumat beragama.
Dasar hidup bersama antar umat beragama, yang dalam ajaran Iman Katolik telah menjadikan perbedaan agama (Bhineka Tunggai Eka, dalam konteks Indonesia) adalah mutuai penghormatan antarpemeluk agama yang berbeda.
Menurut dia, setelah memahami poin pertama maka harus mengaplikasikan poin kedua, yaitu keabadian, dalam konteks ini adalah ajaran uchuwah basyariyah.
Persaudaraan antarmanusia menjadi penting karena kehidupan bersama diawali dengan persaudaraan yang dijalin dan diikat dengan kasih sayang.
Sifat-sifat yang tertanam untuk saling menghormati, saling menghargai, saling mempercayai, saling mendukung, dan saling melindungi lahir dan hidup dari sifat yang sangat terpuji yang diperintahkan oleh Allah nama sifat toleransi, yang mengandung arti sebagai berikut:
Pertama, kata Kiai Marsudi, toleransi adalah salah satu sifat yang diperintahkan oleh Yang Maha Kuasa dan Rasul kita yang mulia.
Tolerance adalah memaafkan ketika abai, mengabaikan kesalahan orang lain, membuat alasan untuk mereka, dan melihat kebaikan dan perbuatan baik mereka daripada berfokus pada aib dan kesalahan mereka.
Kedua, toleransi adalah memberikan ruang untuk bersosialisasi satu sama lain.
“Kita hidup beragama dalam satu negara, ibarat kita hidup dalam satu rumah besar, di dalam rumah besar itu ada dua ruangan,” kata dia.
Dua ruang tersebut adalah ruang publik, ruang hidup, ruang yang bisa dimasuki siapa saja, disebut sebagai ruang muamalah (muamalah room), di dalam ruang ini para pemeluk agama bisa bekerja sama satu sama lain dalam kehidupan bermasyarakat, ruang untuk saling menolong satu sama lain, ruang persaudaraan umat manusia yang harus dikembangkan menjadi ruang (ukhuwah basyariyah) untuk persaudaraan bangsa, (ukhuwah wathoniyah).
Sementara yang kedua, sambung Kiai Marsudi, adalah ruang privasi, yaitu ruang (ruang tauhid, iman dan ubudiyah), ruang ini adalah ruang yang membedakan antara tamu dan pemilik rumah, ruang yang membedakan antara satu entitas dengan entitas yang lain, ruang yang membedakan antara satu agama dengan agama yang lain.
“Yang harus dipahami di sini secara mendalam adalah di ruang mana seorang Musiim dapat bekerja sama dan hidup bersama dengan non-Muslim, dan di ruang mana kita mempertahankan perbedaan kita,” tutur dia.