Testimoni Agung Rai: Tak Mudah Jadi Wakil Rakyat
Eksistensi seseorang di dunia politik antara lain ditandai dengan menjadi pejabat publik baik di eksekutif atau pun di legislatif.
Editor: Hasanudin Aco
Testimoni Agung Rai: Tak Mudah Jadi Wakil Rakyat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tak mudah untuk eksis di dunia politik, termasuk di Indonesia.
Apalagi setelah terjadi amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebanyak empat kali, dari tahun 1999 hingga 2002 di mana kemudian sistem demokrasi yang berlaku di Indonesia secara "de jure" adalah demokrasi Pancasila.
Tetapi dalam praktiknya atau secara "de facto" yang berlaku adalah sistem demokrasi liberal yang oleh Thomas Hobbes (1588-1679) digambarkan sebagai "homo homini lupus", manusia adalah serigala bagi manusia lainnya.
Yang berlaku adalah hukum rimba. Siapa yang kuat dialah yang menang.
Eksistensi seseorang di dunia politik antara lain ditandai dengan menjadi pejabat publik baik di eksekutif atau pun di legislatif.
I Gusti Agung Rai Wirajaya SE MM adalah satu diantara politisi yang eksis di dunia politik Indonesia itu, dengan menjadi pejabat publik di legislatif atau wakil rakyat. Betapa tidak?
Agung Rai adalah wakil rakyat selama lima periode berturut-turut tanpa jeda sejak Pemilihan Umum (Pemilu) 1999 atau pemilu perdana di era Reformasi.
Selama lima periode itu ia selalu berangkat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan mewakili Daerah Pemilihan (Dapil) Bali untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), dan Dapil Kota Denpasar untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bali.
Pengagum Bung Karno
Agung Rai memang seorang pengagum Bung Karno.
Sebab itu, ia masuk ke PDIP yang merupakan reinkarnasi dari Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Bung Karno tahun 1927.
Mengapa Agung Rai mengagumi Presiden Pertama RI bernama Ir Sorkarno itu?
Menurut dia, Rabu (2/10/2024) di Jakarta, selain karena ada ikatan primordial, yakni ibu dari Bung Karno, Ida Ayu Nyoman Rai atau Nyoman Rai Srimben berasal dari Bali seperti dirinya, juga karena ia tertarik bahkan menjiwai ideologi kerakyatan yang diajarkan Bung Karno melalui Marhaenisme.
Agung Rai yang lahir di Bali pada 16 Desember 1965 ini pertama kali terpilih sebagai wakil rakyat di DPRD Provinsi Bali periode 1999-2004 hasil Pemilu 1999.
Lalu di Pemilu 2004 terpilih untuk kedua kalinya, kali ini di DPR RI Periode 2004-2009.
Kemudian terpilih untuk ketiga kalinya, yakni di DPR RI Periode 2009-2014 hasil Pemilu 2009, dan terpilih lagi di level yang sama pada Periode 2014-2019 hasil Pemilu 2014, dan terpilih lagi untuk terakhir kalinya di Periode 2019-2024 hasil Pemilu 2019.
Untuk Pemilu 2024, Agung Rai memilih untuk tidak maju lagi. Dalihnya, selain merasa sudah cukup mengabdi di legislatif selama 25 tahun, juga demi regenerasi kepada kader-kader Banteng yang lebih mudah.
Namun, tak lupa ia juga mengkader putri sulungnya, Anak Agung Istri Paramita Dewi yang pada Pemilu 2024 lalu terpilih menjadi anggota DPRD Provinsi Bali Periode 2024-2029.
Sebagai orang tua, Agung Rai berharap putri kesayangannya itu akan berhasil menapak jejak dirinya, yakni dari menjadi anggota DPRD Provinsi Bali kemudian naik kelas menjadi anggota DPR RI di Senayan, Jakarta.
"Tak mudah menjadi wakil rakyat. Sebab, wakil rakyat punya dua 'atasan' sekaligus, yakni partai yang mencalonkan kita dan konstituen atau rakyat yang memilih kita," kata Agung Rai.
Konsekuensinya, kata dia, di legislatif selain harus menyuarakan kepentingan partai yang mencalonkannya, juga menyuarakan aspirasi rakyat yang memilih dia. "Dua peran ini harus bisa dilaksanakan dengan selaras dan simultan," cetus politisi "low profile" ini.
Dengan kata lain, wakil rakyat harus loyal dan berdedikasi kepada partai, serta loyal dan berkontribusi kepada konstituen atau rakyat pemilihnya.
Ya, tak mudah menjadi wakil rakyat.
Apalagi setelah terjadi amandemen UUD 1945, di mana terjadi "legislative heavy", di mana kekuasaan legislatif lebih kuat daripada sebelumnya, meskipun sistem pemerintahan yang dianut Indonesia adalah presidensiil.
Ada tiga tugas pokok dan fungsi legislatif, yakni bersama pemerintah menyusun undang-undang dan anggaran, serta melakukan pengawasan terhadap jalannya roda pemerintahan.
Ada implikasi negatif dari "legislative heavy" tersebut yang sejalan dengan adagium Lord Acton (1834-1902), yakni "the power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutly" (kekuasaan itu cenderung korup, kekuasaan yang absolut akan absolut pula korupnya).
Tak sedikit wakil rakyat yang terbuai dengan kekuasaan, sehingga mereka terseret arus korupsi yang demikian derasnya, tanpa mampu mengendalikan diri.
Sejauh ini sudah ada ratusan anggota DPR RI yang terpaksa harus masuk penjara karena tergoda korupsi yang memang sangat menggiurkan.
Di daerah (provinsi dan kabupaten/kota) sudah ada sekitar 3.700 anggota DPRD yang harus menginap di hotel prodeo karena godaan korupsi.
Menurut Agung, ada dua pemicu korupsi: niat dan kesempatan. Ada niat tapi tak ada kesempatan, tak jadi itu barang. Sebaliknya, ada kesempatan tapi tak ada niat, juga tak jadi itu barang.
"Niat adanya di dalam hati. Kesempatan ada di peraturan perundang-undangan. Kalau sudah ada niat, peraturan perundang-undangan bisa diakali untuk mendapatkan celah korupsi," tukasnya.
Niat yang adanya di dalam hati terkait dengan faktor internal dan eksternal.
Faktor internal terkait dengan kebutuhan atau "need" dan keserakahan atau "greed". Sebab itu ada dua motif korupsi, yakni "need" atau yang disebut dengan "corruption by need" (korupsi karena kebutuhan), dan "greed" atau yang disebut dengan "corruption by greed" (korupsi karena keserakahan). Di Indonesia yang lebih banyak terjadi adalah "corruption by greed".
Adapun faktor eksternal adalah pengaruh pihak lain. Misalnya mahalnya ongkos politik atau "high cost politics" di Indonesia di era Reformasi ini.
Pramono Anung Wibowo, mantan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan dan mantan Wakil Ketua DPR RI serta mantan Menteri Sekretaris Kabinet pernah menulis buku tentang mahalnya biaya politik di Indonesia.
Lingkaran Setan
Agung Rai berpendapat, ada dua penyebab "high cost politics" di Indonesia, yakni pertama adalah biaya politik atau "political cost" seperti untuk biaya pendaftaran, biaya kampanye, biaya pasang atribut, dan biaya saksi pemilu di setiap tempat pemungutan suara (TPS).
"Biaya politik ini ada batasnya," ucap Agung Rai.
Kedua, adalah "money politics" atau politik uang seperti untuk biaya mahar partai dan oknum pengurus partai, dan biaya "serangan fajar" atau pembagian uang menjelang pemungutan suara pemilu. Money politics ini "unlimited" atau tak terbatas.
Ada fenomena menarik saat ini. Yakni, vulgarnya money politics. Ada sebagian masyarakat yang tak segan-segan lagi memicu money politics.
Bahkan di sebuah daerah ada sebagian masyarakat yang memasang spanduk bertuliskan, "Di sini menerima serangan fajar".
Ada fenomena menarik pula, kalau ada wakil rakyat datang ke daerah pemilihan atau konstituen tapi tidak membawah "oleh-oleh" maka tidak akan dianggap, dan di pemilu berikutnya terancam tidak akan dipilih lagi.
Sebab itu, ketika seorang calon anggota legislatif (caleg) terpilih di pemilu, begitu dilantik menjadi wakil rakyat maka yang pertama kali berkecamuk dalam benak mereka adalah bagaimana caranya supaya bisa cepat balik modal. Kalau sudah balik modal, bagaimana caranya mencari modal baru untuk pemilu berikutnya.
Akhirnya terjadi lingkaran setan. Wakil rakyat korupsi untuk "money politics" atau diberikan kepada rakyat, padahal yang dikorupsi seperti Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah uang rakyat.
Fenomena money politics ini terjadi terutama menimpa wakil rakyat yang jarang turun ke bawah, atau sekali dua turun ke bawah hanya menjelang pemilu.
Sedangkan wakil rakyat yang rajin turun ke bawah seperti dirinya lebih mengutamakan program kerja untuk mendulang suara rakyat, dan hal yang demikian itu sah adanya.
Terbukti, Agung Rai berhasil terpilih menjadi wakil rakyat selama lima periode berturut-turut tanpa money politics.
Yang lebih berat adalah wakil rakyat yang duduk di komisi atau Alat Kelengkapan Dewan (AKD) tertentu. Godaan di komisi yang terkait dengan kebijakan anggaran lebih dahsyat dibandingkan dengan di komisi-komisi lainnya.
Agung Rai pun seperti meniti buih yang sulitnya bukan kepalang. Bila terpeleset sedikit saja, dirinya bisa tercebur ke lautan korupsi.
Puji Tuhan, hingga berakhir tugasnya di DPR pada 30 September lalu, Agung Rai aman-aman saja. Semua karena petunjuk Sang Hyang Widhi Wasa, dan kewaspadaan dirinya supaya tidak terjebak korupsi.
Dan ini, kata Agung Rai, yang paling penting, yakni hidup sederhana dan tidak ingin memiliki yang berlebihan, sesuai prinsip hidupnya sebagai pemeluk agama Hindu, "Asteya" dan "Aparigraha", sehingga tidak sempat muncul motif korupsi karena kebutuhan atau pun keserakahan.
"Asteya atau tidak ingin mencuri dimaksud tidak hanya mengacu pada pencurian benda, tetapi juga menahan diri dari eksploitasi. Jangan merampas hak orang lain, baik itu barang, hak atau perspektif. Orang yang baik akan mendapatkan keinginannya dengan kerja keras, kejujuran dan cara yang adil," terangnya.
Adapun Aparigraha atau tidak memiliki mengingatkan Agung Rai untuk hidup sederhana dan hanya menyimpan barang-barang material yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Alhasil, dalam terminologi agama Islam, Agung Rai dapat disebut "husnul khatimah" atau berakhir dengan baik.