Mengenal Aktivis 98 dalam Kabinet Prabowo: Ada Sosok Fahri Hamzah, Budiman hingga Agus Jabo
Mereka yang dulunya melawan, kini berkesempatan membangun Indonesia bersama Prabowo. Berikut daftarnya.
Penulis: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kabinet yang dipimpin oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka mulai terbentuk dengan melibatkan lebih dari 100 orang.
Menariknya, di antara para tokoh tersebut terdapat sejumlah aktivis yang pernah berseberangan dengan Prabowo, yaitu aktivis 1998.
Siapa Saja Aktivis '98 dalam Kabinet Prabowo?
Aktivis '98 yang kini menjadi calon menteri dan wakil menteri dalam kabinet Prabowo terungkap saat mereka hadir untuk menandatangani pakta integritas di kediaman Prabowo di Kertanegara, Jakarta Selatan.
Budiman Sudjatmiko: Dari Target Pemerintah ke Kabinet
Siapa Budiman Sudjatmiko? Nama Budiman Sudjatmiko adalah salah satu yang paling mencolok di daftar calon kabinet.
Ia dikenal sebagai aktivis yang menjadi target pemerintahan Orde Baru.
Budiman, yang terlibat dalam gerakan pemberdayaan politik di Fakultas Ekonomi UGM, tidak bisa menyelesaikan pendidikannya karena dituduh mendalangi gerakan menentang Orde Baru dan divonis penjara selama 13 tahun.
Fahri Hamzah: Aktor Reformasi
Apa peran Fahri Hamzah dalam gerakan reformasi? Fahri Hamzah dikenal sebagai aktivis mahasiswa Universitas Indonesia (UI) pada medio 1996-1998.
Ia terlibat dalam pembentukan KAMMI dan berbagai gerakan melawan rezim Orde Baru.
Setelah jatuhnya Soeharto, Fahri menjadi pendukung presiden baru BJ Habibie dan kini diproyeksikan menjadi bagian dari kabinet Prabowo.
Agus Jabo Priyono: Pendiri PRD
Siapa Agus Jabo Priyono? Ketua Umum Partai Prima ini dulunya dikenal sebagai aktivis mahasiswa Solo yang terlibat dalam aksi-aksi reformasi.
Agus adalah pendiri Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada 1996 dan sangat aktif dalam gerakan melawan Orde Baru.
Nezar Patria: Suara di Kominfo
Apa yang membuat Nezar Patria menonjol? Saat ini menjabat sebagai Wakil Menteri Kominfo di era Jokowi, Nezar adalah salah satu aktivis '98 yang dikenal sebagai Sekretaris Jenderal Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID).
Ia pernah diculik pada masa Orde Baru, dan kini terlibat sebagai relawan dalam Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan.
Mugiyanto Sipin: Korban Penculikan
Siapa Mugiyanto Sipin? Sebagai Tenaga Ahli KSP, Mugiyanto adalah salah satu korban penculikan yang terjadi menjelang tumbangnya Orde Baru.
Ia merupakan mantan Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) dan memiliki pengalaman mendalam terkait penculikan yang melibatkan 23 aktivis.
Faisol Riza: Aktivis dan Politikus
Apa kontribusi Faisol Riza dalam organisasi? Politikus dari PKB ini aktif sejak masa kuliah dan menjadi ketua SMID.
Ia juga merupakan salah satu aktivis yang pernah diculik di rezim Orde Baru dan kini diproyeksikan masuk dalam kabinet Prabowo.
Immanuel Ebenezer: Relawan yang Bertransformasi
Siapa Immanuel Ebenezer? Dikenal sebagai Ketua Jokowi Mania, Ia bertransformasi menjadi relawan Prabowo dalam Pilpres 2024 setelah aktif dalam organisasi Kelompok Aktivis '98.
Keterlibatannya dalam politik sudah berlangsung sejak Pilkada DKI Jakarta 2017.
Kabinet Gemoy Dikritik
Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti menilai gemuknya kabinet pemerintah Prabowo bakal timbulkan banyak permasalahan.
Diketahui Presiden terpilih Prabowo Subianto telah memanggil 49 tokoh untuk menjadi calon menteri dan 58 calon wakil menteri dan kepala badan di pemerintahannya mendatang.
"Menurut saya nggak bagus (Kabinet gemuk) karena keberhasilan suatu pemerintahan tidak tergantung pada kuantitas menteri," kata Bivitri kepada Tribun di Jakarta, Selasa (5/10).
Ia menerangkan bakal terjadi banyak permasalahan, dengan banyaknya jumlah kabinet menteri di pemerintahan.
"Jadi kalau misalnya kemudian kementerian malah dipecah-pecah. Jadi lebih banyak masalah, itu yang akan timbul," terangnya.
Selain itu dikatakannya, buat kementerian baru dan bongkar kementerian butuh waktu yang lama untuk jadi stabil, minimal dua tahun.
"Itu semua akan membuat kementerian mungkin nggak jalan dengan cepat untuk menjalankan portofolionya masing-masing," lanjutnya.
Kemudian dikatakan Bivitri banyaknya jumlah menteri juga akan memerlukan banyak anggaran.
"Nambah Kementerian pasti nambah anggaran yang banyak padahal kita lagi kayak gini situasinya," tandasnya.