Pakar Hukum Tata Negara Menilai Minimnya Oposisi Pemerintahan Prabowo-Gibran Sebagai Tanda Bahaya
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengomentari minimnya partisipasi oposisi di pemerintahan Prabowo-Gibran.
Penulis: Rahmat Fajar Nugraha
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rahmat W Nugraha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti mengomentari minimnya partisipasi oposisi di pemerintahan Prabowo.
Diketahui saat ini NasDem sudah menentukan sikap tak masuk kabinet pemerintahan Prabowo dan PDIP belum tentukan sikap.
Sementara itu parpol parlemen lainnya mendukung pemerintahan Prabowo mendatang.
"Bahaya banget, demokrasi kalau nggak ada oposisi menurut saya bukan demokrasi tapi otokrasi," kata Bivitri kepada Tribunnews.com di Jakarta, Selasa (5/10/2024).
Baca juga: Batal Masuk Kabinet? 2 Hari Tak Ada Kader PDIP Dipanggil Prabowo, Dasco hingga Puan Buka Suara
Karena menurut Bivitri tidak akan ada pengawasan terhadap pemerintahan.
"Jadi ini kabar yang sangat sangat buruk," terangnya.
Bivitri mengatakan pada pemerintahan sebelumnya ada partai oposisi. Banyak perundang-undangan yang tak berpihak rakyat diloloskan.
"Dulu masih ada (oposisi) Demokrat sama PKS itu aja dilibas terus. Buat Cipta Kerja lewat, mau bikin UU Minerba lewat. Apalagi kalau nggak ada (oposisi), jadi perdebatan bahkan nggak akan ada," terangnya.
Dia juga menyoroti gemuknya kabinet pemerintah Prabowo. Hal ini dinilainya bakal menimbulkan permasalahan.
"Menurut saya nggak bagus (kabinet gemuk) karena keberhasilan suatu pemerintahan tidak tergantung pada kuantitas menteri," kata Bivitri.
Ia menerangkan bakal terjadi banyak permasalahan dengan banyaknya jumlah kabinet menteri di pemerintahan.
Baca juga: Lemahnya Kultur Oposisi Hingga Pendanaan Parpol Jadi Penyebab Gemuknya Kabinet Prabowo
"Jadi kalau misalnya kemudian kementerian malah dipecah-pecah. Jadi lebih banyak masalah, itu yang akan timbul," terangnya.
Selain itu menurutnya buat kementerian baru dan bongkar kementerian butuh waktu yang lama untuk jadi stabil, minimal dua tahun.
"Itu semua akan membuat kementerian mungkin nggak jalan dengan cepat untuk menjalankan portofolionya masing-masing," tandasnya.