Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Sistem Peradilan di Indonesia Disorot, Komisi Yudisial Minta Hakim dan Jaksa Jaga Integritas

Mukti mengatakan bahwa serangkaian penangkapan hakim dan aparat peradilan terkait kasasi Ronald Tannur mengindikasikan adanya mafia peradilan.

Penulis: Malvyandie Haryadi
zoom-in Sistem Peradilan di Indonesia Disorot, Komisi Yudisial Minta Hakim dan Jaksa Jaga Integritas
kai.or.id
Ilustrasi. Komisioner Komisi Yudisial Mukti Fajar mengatakan bahwa serangkaian penangkapan hakim dan aparat peradilan terkait kasasi Ronald Tannur mengindikasikan adanya mafia peradilan. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisioner Komisi Yudisial Mukti Fajar mengatakan bahwa serangkaian penangkapan hakim dan aparat peradilan terkait kasasi Ronald Tannur mengindikasikan adanya mafia peradilan.

“Karena itu melibatkan aktor yang di dalam atau di luar pengadilan yang dapat mengatur vonis,” katanya kepada wartawan, Senin, 28/10/2024. 

Menurut Mukti semestinya aparat pengadilan seperti hakim atau jaksa bisa membentengi diri dari praktik tidak benar semacam itu. 

“Caranya sadar menjaga integritas setiap saat,” ujarnya.  “Patuhi Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, baik di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan. Selain itu, hakim juga diwajibkan untuk tidak berinteraksi secara langsung maupun tidak langsung dengan pihak pihak yang berperkara.”

Lebih lanjut, Mukti mengatakan bahwa praktik mafia peradilan itu terjadi dengan cara memanfaatkan celah hukum dan koneksi dengan aktor di dalam pengadilan. 

“Kemudian itu digunakan dalam setiap proses pengadilan,” katanya. 

Seperti diketahui, Ronald Tannur akhirnya ditangkap oleh Kejaksaan Agung pada Minggu (27/10/2024) siang di kompleks perumahan Victoria Regency, Surabaya, Jawa Timur. 

BERITA REKOMENDASI

Ronald selama ini menjadi sorotan karena terlibat kasus penganiayaan berat yang mengakibatkan Dini Sera Afrianti, kekasihnya, meninggal. Ia juga diduga menyogok majelis hakim agar terbebas dari jeratan hukum.

Atas putusan bebas itu, Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Surabaya Putu Arya Wibisana memutuskan mengajukan kasasi. 

”Bukti berupa hasil visum et repertum sudah ditegaskan adanya luka hati akibat benda tumpul. Juga ada bukti lindasan dari roda kendaraan pada tubuh korban,” kata Putu Arya.

Pada 22 Oktober 2024, Mahkamah Agung pun mengabulkan kasasi yang diajukan jaksa penuntut umum atas putusan bebas terhadap Gregorius Ronald Tannur, terdakwa pembunuhan berencana Dini Sera Afrianti. MA membatalkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya.

Majelis kasasi yang dipimpin Hakim Agung Soesilo dengan hakim anggota Ainal Mardhiah dan Sutarjo menyatakan, Ronald Tannur terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah sesuai dakwaan alternatif kedua jaksa, yaitu melanggar Pasal 351 Ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).


Pada 23 Oktober 2024, tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya: Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo, yang memvonis bebas Ronald Tannur, ditangkap Kejaksaan Agung. 

Ketiganya adalah hakim dengan golongan kepegawaian IV a ke atas. Lisa Rachmat dan Kevin Wibowo yang merupakan tim kuasa hukum Ronald Tannur turut ditangkap.

Terakhir, kasus ini juga menjebloskan Zarof Ricar, mantan pejabat MA, yang diduga menjadi makelar kasus di MA. Zarof saat ini juga menjadi buah bibir karena memproduseri film Sang Pengadil yang kini sedang tayang. Film itu bercerita tentang hakim yang berusaha idealis dalam menjalankan pekerjaannya.

Sebelumnya, pada Juli lalu, tiga orang hakim dari Pengadilan Negeri Lubuk Linggau dilaporkan ke Komisi Yudisial karena dianggap tidak mengindahkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 1956, bahwa kasus perkara pidana tidak dapat diputus sebelum kasus perdatanya diselesaikan.

Kini, PN Lubuk Linggau kembali mendapat sorotan karena dalam sidang eksepsi terhadap terdakwa atas nama Bagio Wilujeng dan Djoko Purnomo dianggap tidak mengindahkan kaidah yang terdapat pada pasal 84 ayat 1 KUHAP.

“Tempat Kejadian Perkara (TKP) pada surat pelimpahan perkara hanya menyebutkan Serayu dan Palembang yang menjadi ‘locus delicti’. Sementara itu, jika ditinjau dari pasal 84 ayat 2, keberadaan saksi dan terdakwa tidak dapat berdiri sendiri untuk menjadi kewenangan pengadilan,” kata Satria Nararya, pengacara Bagio dan Djoko. 

Ia membeberkan bahwa pada tahap penyelidikan ataupun penyidikan itu di dalam surat panggilan terhadap Bagio dan Joko dugaan tindak pidana diduga dilakukan di Kota Palembang dan Kabupaten Musi Banyuasin itu yang pertama. Tapi anehnya, penyidik dan jaksa penuntut umum melakukan pelimpahan ke Pengadilan Negeri Lubuk Linggau. 

“Tidak ada pengecualian sebagaimana diatur dalam KUHAP bahwa domisili dari masing-masing terdakwa Baik Pak Bagio dan Pak Joko yang di wilayah yurisdiksi Pengadilan Negeri Lubuklinggau. Tempat terdakwa diketemukan itu pun juga tidak di Lubuklinggau karena Bapak Bagio ditemukan itu pada saat pemeriksaan sebagai tersangka di bareskrim yaitu di Jakarta Selatan," kata Satria lagi. 

 Pada kesempatan terpisah, Mantan Ketua Komisi Kejaksaan Republik Indonesia Dr. Barita Simanjuntak turut merespons polemik ini. Menurutnya, keberatan soal kompetensi pelimpahan pengadilan itu memang dimungkinkan.

“Para pihak yang merasa keberatan itu berhak mengajukan penolakan atau merasa bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili,” katanya. 

 Meski demikian, Barita juga menegaskan bahwa pengadilan tentu punya pertimbangan. “Itu dibenarkan oleh undang-undang yang menjadi wewenang Mahkamah Agung untuk mengikuti atau tidak menyetujui proses pemindahan satu perkara dari pengadilan yang berwenang mengadili,” ucapnya. 

Lalu bagaimana jika pihak salah satu yang berperkara tetap keberatan? Menurut Barita hal itu masih memungkinkan diajukan eksepsi.

“Semua ada dalam Sistem Peradilan Pidana kita yang diatur di dalam KUHAP," ujarnya.

 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas