Serikat Pekerja Tembakau Ungkap Batal Dilibatkan dalam Pembahasan Permenkes
Serikat pekerja batal dilibatkan dalam pembahasan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes).
Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman-Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM–SPSI) batal dilibatkan dalam pembahasan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes).
Ketua Umum FSP RTMM-SPSI, Sudarto AS, menjelaskan sebelumnya aksi unjuk rasa pihaknya telah membuahkan audiensi dengan pihak Kemenkes.
Saat itu,man Kemenkes diwakili oleh Ketua Tim Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau, Benget Saragih, hadir menemui perwakilan FSP RTMM-SPSI dan menghasilkan keputusan bahwa Kemenkes akan mempertimbangkan kembali aturan ini.
“Secara lisan yang kami dengar saat perwakilan kami tanggal 10 Oktober diterima masuk oleh Kemenkes, dikatakan bahwa tidak dan atau belum ada rencana penyeragaman kemasan. Namun demikian, sampai saat ini kami belum diundang kembali untuk membahas Rancangan permenkes tersebut sesuai janji dan kesepakatan tertulis,” ujar Sudarto melalui keterangan tertulis, Selasa (29/10/2024).
Sudarto mengatakan pihaknya mendapat informasi terbaru bahwa Kemenkes tetap akan mendorong aturan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek.
Di mana Kemenkes tetap akan mewajibkan keseragaman warna kemasan dan logo, serta penulisan merek menggunakan huruf yang sama.
"Kalau penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek ini dipaksakan maka akan bertabrakan dengan aturan Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di mana identitas merek telah dilindungi secara hukum,” ujarnya.
Sudarto juga melihat aturan ini bertentangan dengan Asta Cita pemerintahan baru Prabowo-Gibran yang akan mendorong target pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen sampai akhir masa jabatan.
Karena kebijakan ini berpotensi mematikan seluruh ekosistem industri tembakau, imbasnya secara ekonomi mencakup penurunan penerimaan cukai hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran yang tidak boleh dipandang sebelah mata.
“Seharusnya, setiap kebijakan dan regulasi harus memperhatikan dampaknya, di mana seharusnya tidak semakin menyengsarakan kelompok bawah wong cilik yang paling lemah,” ucapnya.
Sudarto juga mengingatkan bahwa mandat Undang-Undang Kesehatan No. 17 Tahun 2023 hanya terkait penerapan graphic health warning (GHW) sebesar 50?n Rancangan Permenkes semestinya tidak melenceng dari aturan yang semestinya diterapkan.
"Wewenang Kemenkes harusnya sesuai UU Nomor 17/2023, yaitu hanya mengatur pengaturan peringatan kesehatan sebesar 50% saja,” pungkasnya.