Kejagung soal Penetapan Tersangka Tom Lembong: Perkaya Orang Lain dan Korporasi Juga Bisa Dipidana
Pasal 2 dijelaskan, setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi yang merugikan negara dapat diancam pida
Penulis: Fahmi Ramadhan
Editor: Acos Abdul Qodir
Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahmi Ramadhan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung buka suara soal penetapan mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong alias Thomas Lembong alias Tom Lembong, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi impor gula.
Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, menegaskan, untuk menetapkan Tom sebagai tersangka tidak hanya didasari yang bersangkutan harus menerima uang hasil korupsi.
Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Pasal 2 dijelaskan, setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi yang merugikan negara dapat diancam pidana minimum 4 tahun dan maksimal 20 tahun.
Sedangkan dalam Pasal 3, lanjut Qohar diatur, setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun.
"Artinya, di dalam 2 pasal ini, seseorang tidak harus mendapatkan keuntungan," terang Qohar kepada wartawan, Kamis (31/10/2024).
Sebab, lanjut Qohar, dalam praktiknya Tom Lembong diduga kuat memperkaya atau menguntungkan korporasi dalam kasus impor gula ini.
Baca juga: Sejumlah Rekening dan Aset Milik Makelar Kasus Zarof Ricar Diblokir Kejagung
Oleh karena itu, Tom Lembong juga bisa dimintai pertanggungjawaban pidana meski belum diketahui ada atau tidaknya aliran dana yang menguntungkan dirinya sendiri.
Meski begitu, kata Qohar, saat ini penyidik akan tetap berupaya menemukan aliran uang yang diduga menguntungkan Tom dalam perkara impor gula tersebut.
"Ya inilah yang masih kami dalami karena untuk menentukan seseorang sebagai tersangka tidak harus seseorang itu mendapat aliran dana," pungkasnya.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung menetapkan Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan periode 2015-2016 sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait kegiatan importasi gula di Kementerian Perdagangan tahun 2015–2016.
"Setelah melakukan penyidikan dan menemukan bukti yang cukup, kami menetapkan TTL, Menteri Perdagangan periode 2015-2016 menjadi tersangka," ucap Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, Abdul Qohar, dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta Selatan, Selasa, (29/10/2024).
Baca juga: Sambangi Gedung Merah Putih, Abraham Samad Dkk Minta KPK Usut Dugaan Korupsi Keluarga Jokowi
Untuk diketahui, Tom Lembong menjabat sebagai Menteri Perdagangan Indonesia dari 12 Agustus 2015 hingga 27 Juli 2016.
Dia juga pernah menjabat sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di periode pertama Presiden Joko Widodo.
Selain itu, Kejagung juga sudah menetepkan eks Direktur PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) inisial CS dalam perkara yang diduga merugikan negara sebesar Rp400 miliar.
"Kerugian negara akibat perbuatan importasi gula yang tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, negara dirugikan kurang lebih Rp 400 miliar," ucap Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta Selatan, Selasa (29/10/2024) malam.
Dijelaskan Abdul Qohar, Tom Lembong diduga memberikan izin kepada PT AP untuk mengimpor gula kristal mentah sebesar 105.000 ton pada 2015.
Padahal, saat itu Indonesia sedang surplus gula sehingga tidak membutuhkan impor.
"Akan tetapi di tahun yang sama, yaitu tahun 2015 tersebut, menteri perdagangan yaitu Saudara TTL memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton kepada PT AP yang kemudian gula kristal mentah tersebut diolah menjadi gula kristal putih," kata Qohar.
Selain itu, Qohar menyatakan, impor gula yang dilakukan PT AP tidak melalui rapat koordinasi (rakor) dengan instansi terkait serta tanpa adanya rekomendasi dari kementerian-kementerian guna mengetahui kebutuhan riil.
Tak hanya itu, perusahaan yang dapat mengimpor gula seharusnya hanya BUMN.
Baca juga: Belum Sebulan Bekerja, Pemerintahan Prabowo Telah Tangkap Koruptor dari 7 Kasus Korupsi, Siapa Saja?
Sementara itu, CS diduga mengizinkan delapan perusahaan swasta untuk mengimpor gula. PT PPI kemudian seolah membeli gula tersebut.
Padahal, delapan perusahaan itu telah menjual gula ke pasaran dengan harga Rp 16.000 per kilogram atau lebih mahal dibandingkan Harga Eceran Tertinggi (HET) saat itu Rp 13.000 per kilogram. CS diduga menerima fee dari delapan perusahaan itu.
"Dari pengadaan dan penjualan gula kristal mentah yang telah diolah jadi gula kristal putih PT PPI dapat fee dari delapan perusahan yang impor dan mengelola gula tadi sebesar Rp 105 per kilogram," ujar Qohar.