Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Saksi Mahkota Paparkan Alasan PT Timah Tak Garap Sendiri Wilayah IUP-nya

Alwin menjelaskan, ada dua alasan mengapa ada sejumlah area tambang yang tak digarap sendiri oleh PT Timah meski area tersebut berada di wilayah IUP m

Penulis: Reza Deni
Editor: Muhammad Zulfikar
zoom-in Saksi Mahkota Paparkan Alasan PT Timah Tak Garap Sendiri Wilayah IUP-nya
Tribunnews.com/Fahmi Ramadhan
Sidang lanjutan kasus korupsi tata niaga komoditas timah di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (1/11/2024). 

Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Direktur Operasional PT Timah Alwin Albar dihadirkan sebagai saksi dalam sidang dugaan korupsi timah dengan terdakwa Harvey Moeis.

Dalam sidang tersebut, Alwin dimintai keterangan mengapa PT Timah melibatkan masyarakat dalam aktivitas pertambangan rakyat dan menggandeng smelter swasta untuk mengolah bijih timah. 

Baca juga: Terungkap, PT Timah Disebut Titipkan Perusahaan Boneka untuk Ambil Bijih Timah dari Penambang Ilegal

Padahal, pertambangan dilakukan di area yang masih masuk dalam wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT Timah.

Secara garis besar, Alwin menjelaskan, ada dua alasan mengapa ada sejumlah area tambang yang tak digarap sendiri oleh PT Timah meski area tersebut berada di wilayah IUP miliknya. 

Baca juga: Mantan Dirjen Minerba Sebut Timah dalam IUP yang Belum Dibayarkan Royalti Bukan Milik PT Timah

Pertama adalah masalah kepemilikan lahan, kedua adalah masalah efisiensi.

Dalam urusan lahan, Alwin menjelaskan, ada area-area yang secara status kepemilikan lahan berada di bawah kepemilikan masyarakat secara sah meski masuk dala wilayah IUP PT Timah.

Berita Rekomendasi

Agar pertambangan di area tersebut bisa dilakukan, PT Timah harus terlebih dahulu membebaskan lahan dari masyarakat agar memenuhi prinsip Clear and Clear (CnC).

Alwin lantas ditanya, mengapa PT Timah tidak membebaskan saja lahan tersebut dari masyarakat.

"Masalahnya, masyarakat mau jual (tanahnya) nggak? Kan mereka belum tentu mau jual," tutur dia, dikutip Jumat (1/11/2024).

Tantangan tersebut dijawab PT Timah dengan melakukan kemitraan dengan masyarakat pemilik lahan untuk melakukan pertambangam.

Dari sana, muncul kebijakan agar kerja sama dengan penambang rakyat dilakukan lewat badan hukum berbentuk CV dengan pola kemitraan. CV didirikan oleh masyarakat pemilik lahan yang berada di wilayah IUP PT Timah.

Dengan pola kemitraan ini, masyarakat penambang rakyat dan pemilik lahan di bawah naungan badan hukum berbentuk CV, melakukan pertambangan yang hasilnya dibeli oleh smelter swasta yang sudah bekerja sama dengan PT Timah.

Baca juga: Sidang Kasus Korupsi Timah, Saksi Ahli Sebut Aset Halal yang Bercampur Hasil Korupsi Bisa Disita

Lewat pola ini, tercipta ekosistem yang lebih tertata agar timah yang ditambang oleh masyarakat di wilayah IUP PT Timah tidak diperdagangkan secara ilegal. 

Di sisi lain, para pemilik lahan yang lokasinya berada di wilayah IUP PT Timah tetap mendapatkan hak ekonomi atas lahan yang mereka miliki.

Selanjutnya, Alwin menceritakan alasan mengapa PT Timah kala itu menggandeng smelter swasta dalam memproses bijih timah yang diproduksi penambang rakyat.

"Karena biaya pengolahannya lebih murah," sebut dia.

Pernyataan Alwin sejalan dengan keterangan saksi dalam beberapa persidangan sebelumnya, yakni soal biaya yang harus dibayarkan PT Timah ke smelter swasta total sebenarnya adalah US$ 4.000/Ton. Biaya itu termasuk peleburan, pengangkutan dan biaya lainnya. 

Sementara, untuk komponen biaya yang sama, total biaya yang harus dikeluarkan PT Timah untuk melakukan produksi adalah mencapai US$ 6.000/ton.

Adapun Alwin menegaskan, seluruh aktivitas dan keputusan bisnis yang diambil direksi dan pejabat PT Timah kala itu sudah sesuai dengan aturan yang berlaku dan dalam pengawasan lembaga berwenang dalam hal ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

"Intinya waktu tahun 2022 itu, semua temuan sudah (sesuai). Kecuali ada 3 piutang PT Timah dan anak usaha. Selebihnya sudah sesuai dengan rekomendasi BPK," tandas dia.

Baca juga: Korupsi Timah, Harvey Moeis Sebut Dana CSR Ratusan Miliar Disimpan di Brankas dan Ludes Saat Pandemi

Sebagai informasi, berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun. 

Perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.

Kerugian negara yang dimaksud jaksa, di antaranya meliputi kerugian atas kerja sama penyewaan alat hingga pembayaran bijih timah. 

Tak hanya itu, jaksa juga mengungkapkan, kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan nilainya mencapai Rp 271 triliun. Hal itu sebagaimana hasil hitungan ahli lingkungan hidup.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas