Tanpa Food Estate Baru, Indonesia Sudah Lampaui Kuota Deforestasi
Food Estate atau program lumbung pangan nasional bukanlah jawaban atas permasalahan pangan di Indonesia.
Editor: Dodi Esvandi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Food Estate atau program lumbung pangan nasional bukanlah jawaban atas permasalahan pangan di Indonesia.
Program ini berpotensi merusak ekosistem hutan alam yang seharusnya dijaga.
Hal ini diungkapkan Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, menanggapi pidato Utusan Khusus Delegasi Republik Indonesia, Hashim Sujono Djojohadikusumo di depan sidang plenary COP29 (12/11/2024) yang menyebut bahwa program Food Estate terus berjalan.
Sebelumnya, Presiden Prabowo telah berkunjung ke lokasi Food Estate di Kabupaten Merauke, Papua Selatan yang telah diplot seluas lebih dari 2 juta hektar sebagai fokus garapan Food Estate pemerintahannya.
Menurut Nadia Hadad, yang turut hadir di ajang COP29 Baku, Azerbaijan, Food Estate sebagai Proyek Strategis Nasional berpotensi menjadi karpet merah untuk eksploitasi sumber daya alam dan hutan.
Padahal Indonesia memiliki komitmen FOLU Net Sink 2030, dengan target pengurangan laju deforestasi 4,22 juta hektar hingga 2030.
Berdasarkan dokumen Rencana Operasional Indonesia’s FOLU Net Sink 2030, deforestasi Indonesia sampai 2019 sudah mencapai 4,8 juta hektar.
Artinya, kuota deforestasi Indonesia sudah terlampaui atau minus 577 ribu hektar.
Dengan membuka Food Estate, ini lebih jauh lagi mengancam pencapaian komitmen iklim Indonesia kepada dunia.
Baca juga: Anggota DPR PDIP Ingatkan Prabowo Hati-hati Proyek Food Estate: Zaman Soeharto dan Jokowi Gagal
“Proses pemulihan ekosistem melalui restorasi dan rehabilitasi lahan membutuhkan waktu sangat lama dan seringkali tidak mampu mengembalikan ekosistem ke kondisi semula, seperti ekosistem gambut dan mangrove,” kata Nadia dalam keterangan
persnya (13/11/2024).
Nadia menjelaskan untuk mencapai target NDC, pencegahan deforestasi harus diutamakan dengan menerapkan kebijakan yang tepat.
“Mengandalkan restorasi dan rehabilitasi saja akan mempersulit pencapaian komitmen iklim Indonesia. Cegah dulu, baru restore,” kata Nadia.
Dalam pidatonya Hashim menggunakan argumen bahwa program ketahanan pangan sangat diperlukan untuk menjaga kemandirian Indonesia dari guncangan eksternal yang telah kita lihat dan alami dalam beberapa tahun terakhir.
Adik kandung Presiden Prabowo itu mencontohkan Pandemi COVID-19 dan Perang Ukraina-Rusia menjadi penyebab melonjaknya harga pangan dan harga pupuk, beberapa waktu lalu.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya
A member of
Follow our mission at sustainabilityimpactconsortium.asia