Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pemangku Kepentingan Industri Hasil Tembakau di Jawa Tengah Bicara Dampak Polemik PP 28 Tahun 2024

Polemik mengenai regulasi industri hasil tembakau (IHT) masih menjadi sorotan akibat Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024).

Penulis: Matheus Elmerio Manalu
Editor: Content Writer
zoom-in Pemangku Kepentingan Industri Hasil Tembakau di Jawa Tengah Bicara Dampak Polemik PP 28 Tahun 2024
Istimewa
Acara Ruang Rembuk dengan tema Dampak Polemik Regulasi Nasional Terhadap Ekosistem Pertembakauan Jawa Tengah digelar di Kulonuwun Kopi, Kamis (14/11/2024). 

TRIBUNNEWS.COM, SURAKARTA - Polemik mengenai regulasi industri hasil tembakau (IHT) masih menjadi sorotan akibat Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024).

Aturan  yang merupakan turunan dari Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan ini menjadi perhatian luas, termasuk masukan dari berbagai pemangku kepentingan.

Beberapa waktu lalu, anggota Komisi IX DPR RI Nurhadi menyampaikan, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin telah memutuskan untuk menunda rancangan Permenkes tersebut.

Jika Rancangan Permenkes itu sudah diputuskan untuk ditunda,  menjadi pertanyaan adalah kenapa kegaduhan masih terjadi. Hal ini tentunya memerlukan klarifikasi  agar tidak menimbulkan polemik berkepanjangan.

Menyikapi situasi ini, kemudian dibahas di forum diskusi Ruang Rembuk bertajuk ‘Dampak Polemik Regulasi Nasional terhadap Ekosistem Pertembakauan Jawa Tengah’ yang digelar di Surakarta, Jawa Tengah, Kamis (14/11/2024) siang.

Forum diskusi ini bertujuan membahas dampak rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek, larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan, hingga mencari solusi kebijakan yang berimbang dalam mendukung ekonomi industri tembakau sekaligus menjaga kesehatan publik.

Dalam forum tersebut, Sekretaris Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Tengah Nanang Teguh Sambodo menyatakan kekhawatirannya atas dampak kebijakan ini terhadap para petani tembakau, khususnya di Jawa Tengah. Pasalnya, Nanang mengungkapkan bahwa pertanian tembakau di Jawa Tengah cukup memiliki pengaruh signifikan terhadap ekonomi di kawasan sentra tembakau.

Berita Rekomendasi

“Kalau kita lihat tanaman tembakau hubungannya dengan rokok, yang tentu kaitannya dengan industri untuk panen dan penjualan. Di Jawa Tengah kebetulan sentra tembakau terbesar selain Jawa Timur, di Solo Raya, Boyolali hingga Sragen, bahkan yang paling besar itu di Boyolali, karena ada 3.500 hektar,” terang Nanang.

Memiliki peran besar dalam mendukung ekonomi kerakyatan di pedesaan dan komunitas lokal Jawa Tengah, Nanang menyatakan bahwa para petani tembakau akan terdampak akibat rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek pada rancangan Permenkes ini.

“Dalam Permenkes disebutkan, akan ada kemasan polos, tidak ada merek yang jelas, kemudian radius sekian meter, kemudian minimal 20 batang dalam satu kemasan. Serapan industri tentu bisa berkurang dan itu memusingkan kami kawan-kawan petani untuk menjual hasil panen ke mana,” ujarnya.

“Sekarang beberapa perusahaan sudah ada pembatasan untuk beli hasil panen, mungkin karena industri sudah melihat dan mencermati peraturan tersebut,” cerita Nanang.

Ia berharap, pemerintahan baru Prabowo-Gibran bisa mengatur kembali aturan yang juga memperhatikan mata pencaharian para petani, khususnya di sektor tembakau. Karena dia merasa tembakau didiskriminasi karena zat adiktif itu bukan hanya rokok, karena hal tersebut terdapat dalam tanaman lainnya, seperti teh dan kopi.

Baca juga: Kemasan Polos Ancam Rantai Pasok Tembakau, Ribuan Petani Jawa Tengah Terancam

Industri tembakau cukup berpengaruh di Jawa Tengah

Keresahan yang serupa juga diungkapkan oleh Ketua Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) Andreas Hua.

“Kalau saya ngomong pekerja di Jawa Tengah, masih banyak juga pekerja yang ikut RTMM. Total tenaga kerja RTMM di Jawa Tengah 99.177 orang per Mei 2024 dengan 90 persen itu perempuan, para perempuan ini justru menjadi tulang punggung perekonomian keluarga, karena kebanyakan suami mereka tukang ojek, tukang bangunan dan tidak ada kepastian bekerja,” kata Andreas dalam diskusi itu.

Andreas menuturkan keterlibatan para pekerja di sektor tembakau dalam perumusan kebijakan ini sangatlah minim. Padahal, masih kata Andreas, para pekerja di sektor padat karya inilah yang akan paling berdampak dari PP 28/2024 tersebut.

“Kita tolak Rancangan Permenkes ini, karena industri tembakau adalah sektor padat karya. Dampak kebijakan ini kepada para pekerja itu jangka panjang, jadi pekerja akan merasakan beberapa tahun aturan ini terlaksana. Saya ambil contoh, PP 109/2011, efek terhadap pekerja baru terjadi di tahun 2014-2015, waktu itu anggota RTMM seluruh Indonesia berkurang sebanyak kurang lebih 60.000 orang,” kata dia.

Andreas juga menegaskan, regulasi terkait dengan fiskal akan langsung berdampak kepada para pekerja di industri tembakau.

“Saya mau sampaikan, kalau regulasi terkait dengan fiskal, kita akan all-out karena langsung terdampak ke pekerja. Karena jika margin perusahaan makin kecil, otomatis biaya akan ditekan dan yang menjadi sasaran utama adalah tenaga kerja. Karena upah setiap tahun itu naik, jadi perusahaan cenderung mengurangi jumlah karyawan,” ujarnya.

PP 28/2024 diharapkan bisa menyeimbangkan ekonomi dan kesehatan

Pengamat Kebijakan Publik Dwijo Suyono yang juga hadir dalam forum diskusi ini, menyoroti kebijakan terkait industri tembakau dalam beberapa waktu terakhir.

“Luas lahan tembakau di Jawa Tengah itu ada 18.150 hektar, jadi cukup besar. Jadi sebagian besar jumlah petani tembakau itu ada di Jawa Tengah. Apakah ada regulasi dari pemerintah yang melindungi tembakau dan industri termasuk petaninya? Saya bisa katakan tidak ada perlindungan,” mulai Dwijo mengungkapkan keresahannya.

Ia mengambil contoh Undang-undang No.19 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan petani, yang menurutnya di lapangan tidak ada perlindungan untuk para petani tembakau, khususnya di Jawa Tengah yang memiliki lebih dari 450.000 petani tembakau.

“Sama sekali tidak ada perlindungan kepada para petani. Harusnya ada turunan dari masing-masing peraturan Pemda setempat. Jadi di hulu sangat lemah untuk perlindungan petani tembakau, di hilir perusahaan juga ditekan terus oleh pemerintah. Jadi peraturan PP 28 tahun 2024 ini untuk apa?” tanya Dwijo.

Sebagai Pengamat Kebijakan Publik, Dwijo juga mengkhawatirkan tentang keberlangsungan sektor tembakau di Indonesia.

“Ngomongin Rokok, itu bukan lokal atau nasional, tapi internasional. Kebutuhan tembakau kita 316.000 ton, yang dihasilkan adalah 218.000 ton, kurangnya itu kita impor. Kemudian jika dihubungkan dengan siklus ekonomi dan politik global, lama-lama tembakau yang tadinya dikelola 99 persen petani, kemudian datang dari negara lain, beli tanah dan menjadikannya sebagai industri tembakau, selesai itu kehidupan para petani,” jelasnya lagi.

Dwijo juga mengungkapkan regulasi penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek pada rancangan Permenkes akan mengakibatkan beberapa dampak pada ekosistem pertembakauan Jawa Tengah.

“Rokok polos ini mematikan kreativitas kita, padahal kita punya undang-undang HAKI. Jadi ini berbahaya. Kalau tujuan RPMK ini untuk menekan jumlah perokok, 70 juta perokok di Indonesia, nyatanya jumlah tersebut terus naik setiap tahun. Jadi harus dikaji kembali agar jelas dan bisa berimbang kepada ekosistem pertembakauan di Jawa Tengah,” pungkasnya.

Sementara dari sisi ekonomi, PP 28/2024 serta rancangan Permenkes yang sedang digodok itu ternyata juga bisa berdampak negatif untuk ekosistem pertembakauan Jawa Tengah. Pasalnya, sektor tembakau ternyata memiliki kontribusi cukup besar untuk perkembangan ekonomi Jawa Tengah.

Hal tersebut diungkapkan oleh Pengamat Ekonomi Malik Cahyadi yang juga menghadiri forum diskusi ini. Industri tembakau dan perekonomian Jawa Tengah memiliki keterkaitan yang erat, sehingga jika regulasi ini tidak dikaji ulang, dikhawatirkan akan terjadinya pengurangan tenaga kerja khususnya anak-anak muda yang tentu mengganggu stabilitas ekonomi di Jawa Tengah.

“Ketika ekosistem bisnis tembakau ini tidak bisa disubstitusi, jadi seberapa jauh pemerintah melihat surplus konsumen dan surplus produsen, untuk menyediakan substitusinya atau komplemen. Kasus seperti ini, untuk komoditas utama seperti tembakau, yang berdampak adalah anak-anak muda usia di bawah 30 tahun ,” ungkap Malik Cahyadi.

Malik mengungkapkan jika komponen utama ekosistem tembakau tidak bisa mengikuti regulasi, berarti pemerintah deindustrialisasi.

“Jika begitu, yang masuk nantinya adalah negara luar atau FDI, yang bisa mengakibatkan hilirisasi gagal. Sehingga dalam posisi deindustrialisasi, ongkos negara akan sangat besar, jadi pragmatisnya harus impor. Jika begitu, saya khawatir orang-orang muda akan sulit mencari kerja jika deindustrialisasi ini terus berlanjut selama beberapa tahun mendatang,” jelas Malik.

Malik mengajak pemimpin daerah dan jajarannya untuk terus mengantisipasi adanya aturan-aturan eksesif pada industri tembakau yang dampaknya bisa berdampak buruk pada tenaga kerja dan merugikan perekonomian Jawa Tengah.

Baca juga: Petani, Serikat Pekerja hingga Akademisi Khawatir Kemasan Polos Berdampak Buruk bagi Perekonomian

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas