Akhir Pelarian Tersangka Kasus Timah Hendry Lie, 8 Bulan di Singapura Akhirnya Pulang Juga
Kejaksaan Agung RI akhirnya berhasil menangkap pengusaha Hendry Lie setelah sekian lama menjadi buronan kasus korupsi.
Penulis: Endra Kurniawan
Editor: Hendra Gunawan
Hendry Lie pergi dari Indonesia setelah menjalani pemeriksaan pertama sebagai sanksi dalam kasus korupsi timah.
"Tersangka ke Singapura setelah dilakukan pemeriksaan yang pertama. Kemudian yang bersangkutan tidak kembali lagi dengan alasan sedang menjalani pengobatan di Singapura," katanya, dikutip dari kanal YouTube KompasTV.
Abdul Qohar meneruskan penjelasannya, Hendry Lie kemudian pulang ke Indonesia karena masa berlaku paspornya akan berakhir pada 27 November 2024 mendatang.
Paspor Hendry Lie tidak bisa diperpanjang karena dilakukan pencekalan.
"Karena penyidik sudah melayangkan surat ke dubes Singapura untuk melakukan penarikan terhadap paspor yang bersangkutan," tegas Abdul Qohar.
Ditangkap Paksa
Abdul Qohar mengaku, pihaknya sudah melakukan monitoring terhadap Hendry Lie dengan menggandeng sejumlah pihak, seperti penyidik, tim sidik intelijen, dan perwakilan kejaksaan Singapura.
Hasilnya, Hendry Lie terdeteksi pulang secara diam-diam pada Senin (18/11/2024) malam.
"Dia pulang secara diam-diam, dan kita lakukan penangkapan di Bandara Soekarno Hatta pada saat bersangkutan tiba dari Singapura di terminal 2 F."
"Penangkapan terhadap Hendry Lie dilakukan tanggal 18 November 2024, tepatnya pada jam 22.30 WIB," beber Abdul Qohar.
Langkah tegas lantas diambil dengan penangkapan Hendry Lie pada hari Senin (18/11/2024).
Peran Hendry Lie di Kasus Timah
Abdul Qohar mengatakan, dalam kasus ini, Hendry Lie berperan sebagai beneficial owner (BO) PT Tinindo Internusa.
PT tersebut melakukan kerja sama dalam bidang penyewaan peralatan peleburan timah, antara PT Timah Tbk dengan PT Tinindo Internusa.
Abdul Qohar melanjutkan, biji timah yang dilebur berasal dari CV BPR dan CV SMS yang sengaja dibentuk sebagai perusahaan penerimaan bijih timah dari kegiatan penambangan timah.
Dalam kasus ini, negara dirugikan lebih dari Rp 300 triliun.