Ekonom: Penerapan Rancangan Permenkes terkait Industri Tembakau Berpotensi Gagalkan Hilirisasi
Kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek dapat memengaruhi perekonomian daerah yang berkaitan erat dengan industri hasil tembakau.
TRIBUNNEWS.COM - Penolakan terhadap perumusan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) yang diinisiasi oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) perihal produk tembakau kian menguat.
Kuatnya penentangan terhadap kebijakan itu terutama diakibatkan oleh adanya poin kontroversial terkait penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek yang dinilai berpotensi melumpuhkan sektor industri hasil tembakau (IHT). Pasal ini berisiko kian membebani IHT yang dihantam ketentuan-ketentuan berat lain dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024).
Ketentuan-ketentuan tersebut adalah pelarangan penjualan rokok dalam radius 200 meter serta larangan beriklan dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
Polemik terkait regulasi-regulasi ini berkepanjangan, sebab tak ada keterbukaan informasi dan ruang diskusi dari Kemenkes. Padahal, anggota Komisi IX DPR RI Nurhadi pada sebuah diskusi di DPR baru-baru ini menyebut bahwa Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin telah memutuskan untuk menunda Rancangan Permenkes tersebut. Namun, jajaran Kemenkes tetap mendorong rencana aturan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek untuk dijalankan.
Guna membuka ruang diskusi tersebut, Tribunnews.com menggelar Ruang Rembuk bertajuk ‘Dampak Polemik Regulasi Nasional terhadap Ekosistem Pertembakauan Jawa Tengah’ yang digelar di Surakarta, Jawa Tengah, Kamis (14/11/2024).
Berpotensi usik agenda hilirisasi dan produktivitas industri
Ekonom dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Malik Cahyadin, yang hadir sebagai pembicara pada diskusi Ruang Rembuk mengatakan, rencana kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek yang diatur dalam Rancangan Permenkes bisa menyebabkan gagalnya agenda besar pemerintahan baru di bawah Presedin Prabowo Subianto untuk mendorong hilirisasi.
“Kondisi sekarang dihadapkan pada dua kata, yaitu industrialisasi dan deindustrialisasi. Jika industri sebagai komponen utama ekosistem tembakau tidak bisa berlanjut akibat tekanan regulasi, itu artinya pemerintah membiarkan deindustrialisasi terjadi. Akibatnya, hilirisasi pun gagal,” tegas Malik.
Selain itu, Malik mengatakan kebijakan tersebut juga dapat memengaruhi kondisi perekonomian daerah yang berkaitan erat dengan industri hasil tembakau, salah satunya Jawa Tengah.
“PP 28/2024 serta Rancangan Permenkes ini perlu dievaluasi. Jika tidak, kemungkinan terjadi pengurangan tenaga kerja yang tentu dapat sangat mengganggu kondisi ekonomi Jawa Tengah,” ungkapnya.
Karenanya, Malik mengajak pemimpin daerah dan jajarannya untuk terus mengantisipasi adanya aturan-aturan eksesif pada industri tembakau yang dampaknya bisa berdampak buruk pada tenaga kerja dan merugikan perekonomian Jawa Tengah.
Senada, Pengamat Kebijakan Publik, Dwijo Suyono menilai tak semestinya ekosistem pertembakauan ditekan sedemikian rupa, Apalagi industri rokok ini termasuk pemberi sumbangsih paling besar untuk APBN.
“Cukai hasil tembakau (CHT) tahun 2023 sebesar Rp213,48 triliun. APBN sekitar Rp2.000 triliun. Artinya, hampir 10 persen APBN berasal dari cukai rokok. Tapi kenapa industri ditekan dengan berbagai kesulitan?” terangnya keheranan.
Ia menambahkan bahwa upaya menerapkan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas dalam Rancangan Permenkes dapat menekan industri rokok sehingga akan berdampak pada petani, tenaga kerja, industri, hingga pedagang dan industri lain yang terkait IHT.
Sedangkan Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) Andreas Hua menyebut, dampak langsung penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas adalah berkurangnya kemampuan IHT secara signifikan. Apabila ini sampai terjadi, maka buruh pasti akan menjadi korban.
“Kalau kondisi perusahaan makin sulit otomatis biayanya makin ditekan. Yang paling terancam adalah tenaga kerja,” ungkapnya.
Padahal, banyak keluarga di berbagai penjuru Indonesia yang menggantungkan perekonomiannya dari penghasilan sebagai pekerja di industri rokok. Salah satunya di Kudus, yang banyak penduduknya menjadi buruh pabrik rokok.
“Kalau saya ngomong pekerja di Jawa Tengah, total tenaga kerja yang bergabung dengan RTMM di Jawa Tengah mencapai 99.177 orang per Mei 2024 dengan 90 persennya perempuan. Sebaran industri rokok ada di 18 kabupaten/kota. 78 persen ada di Kudus. Kudus sendiri 77.263 pekerja. Ini kan signifikan,” terangnya.