Wamendagri Jadikan Putusan MK Soal Sanksi Netralitas TNI/Polri Masukan bagi Evaluasi Sistem Pemilu
Bima Arya menyambut baik putusan MK yang menetapkan hukuman sanksi pidana terhadap anggota TNI/Polri yang tidak netral di Pilkada.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan hukuman sanksi pidana terhadap anggota TNI/Polri tidak netral di pilkada, sama seperti pejabat negara, ASN dan kepala desa.
“Putusan MK itu final and binding. Terakhir dan mengikat, tentu kami harus laksanakan itu,” kata Bima Arya usai rapat kerja dengan Komisi II DPR, di Kompleks DPR/MPR, Jakarta, Senin (18/11/2024).
Namun Bima Arya menyatakan penegakan pelanggaran netralitas aparatur negara tidak bisa hanya lewat sanksi semata, tapi juga perlunya sistem pemilu, pilkada yang dibangun sedemikian rupa untuk mencegah ketidaknetralan terjadi.
“Netralitas ini kan tidak hanya lewat sanksi saja, tapi lewat bangunan sistem. Ke depan salah satu urgensi dari mengevaluasi sistem pemilu, pilkada adalah untuk mencegah ketidaknetralan ini,” kata Bima Arya.
“Jadi yang pasti ini menjadi masukan bagi upaya untuk mengevaluasi sistem kepemiluan,” lanjutnya.
Sebagai informasi Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan terkait penegakan sanksi netralitas bagi pejabat daerah dan anggota TNI/Polri dalam pemilihan kepala daerah atau pilkada.
Dengan putusan baru ini, aparat yang melanggar netralitas akan dikenakan sanksi pidana. Putusan tersebut diambil dalam sidang perkara nomor 136/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, Jakarta, Kamis (14/11/2024).
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan.
Putusan ini menyatakan norma Pasal 188 UU Nomor 1 Tahun 2015 bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak memasukkan TNI dan Polri sebagai subjek hukum yang dapat dikenakan sanksi.
Kini, setiap pelanggaran netralitas oleh pejabat daerah, aparatur sipil negara (ASN), TNI, Polri, dan kepala desa akan dikenai pidana penjara satu hingga enam bulan dan/atau denda antara Rp600 ribu hingga Rp6 juta.
Sebelumnya, meski pasal 71 UU Nomor 10 Tahun 2016 telah memasukkan pejabat daerah, TNI, dan Polri sebagai subjek netralitas, pasal 188 UU Nomor 1 Tahun 2015 yang mengatur pidana belum memperjelas subjek tersebut.
Menurut MK, kondisi ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dalam menegakkan sanksi pada TNI/Polri yang melanggar.
Hakim MK Arief Hidayat menekankan bahwa ketidaksesuaian antara kedua pasal ini menimbulkan perdebatan mengenai keabsahan proses penegakan hukum terhadap kedua subjek hukum a quo.
MK memutuskan harmonisasi diperlukan agar kedua pasal ini konsisten dan tidak terjadi perbedaan penafsiran dalam implementasinya.
MK kini menyatakan Pasal 188 berbunyi: “Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat Aparatur Sipil Negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan, dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00.”