KPAI: Penyebab Familisida karena Pria yang Jadi Kepala Keluarga dapat Tekanan Berat Secara Ekonomi
familicide adalah pembunuhan yang dilakukan seseorang terhadap pasangan hidup dan anak secara bersamaan sedang orang tua membunuh anak
Penulis: willy Widianto
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com Willy Widianto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dua kasus tragis yang dialami satu keluarga di Kediri, Jawa Timur dan Cireundeu, Tangerang Selatan menjadi sorotan menjelang pergantian tahun 2024 ke 2025.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia(KPAI) menyoroti kejadian tersebut.
Fenomena familicide dan filisida tersebut bukan pertama kali terjadi.
Familicide, yakni pembunuhan yang dilakukan seseorang terhadap pasangan hidup dan anak-anaknya secara bersamaan.
Sebelumnya, insiden serupa terjadi di Malang, Jawa Timur dan Pesanggrahan, Jakarta Selatan.
Di Malang, satu keluarga meninggal dunia, kecuali anak bungsu yang berhasil diselamatkan.
Sedangkan di Pesanggrahan pada Januari 2024, satu keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan dua anak meninggal setelah melompat dari apartemen. Faktor ekonomi, khususnya jeratan pinjol, diduga menjadi penyebab utama.
Pembunuhan ini dikategorikan sebagai mass murder karena melibatkan beberapa korban dalam satu waktu.
Baca juga: KPAI Soroti Kasus Bunuh Diri Satu Keluarga Meningkat di 2024, Faktor Ekonomi Jadi Pemicu
Penyebab utamanya seringkali adalah hilangnya kendali, terutama dalam aspek ekonomi, yang biasanya dirasakan oleh kepala keluarga laki-laki. Ketidakmampuan mengatasi tekanan ekonomi menyebabkan pelaku merasa putus asa, bahkan memilih mengakhiri hidup bersama anggota keluarganya.
Sementara Filicide atau filisida adalah tindakan menghabisi nyawa anak dengan sengaja yang dilakukan oleh orangtuanya sendiri.
Anggota KPAI sekaligus pengampu klaster Kekerasan Fisik dan/atau psikis, Diyah Puspitarini menyebut penyebab utama familicide lanjut Diyah umumnya berkaitan dengan tekanan ekonomi yang berat, yang sering dirasakan oleh kepala keluarga laki-laki sebagai penanggung jawab finansial keluarga.
Hilangnya kontrol atas kestabilan ekonomi rumah tangga membuat individu merasa kehilangan identitas, harga diri, dan kemampuan untuk memenuhi ekspektasi sebagai “pemimpin keluarga.” Situasi ini menciptakan rasa putus asa yang mendalam, sehingga pelaku cenderung berpikir bahwa satu-satunya solusi adalah mengakhiri hidup bersama anggota keluarga.
"Dalam banyak kasus, jeratan utang, terutama dari pinjol, menjadi pemicu utama. Beban bunga tinggi, penagihan agresif, dan intimidasi yang dilakukan oleh pihak pinjol mendorong kepala keluarga ke titik terendah," kata Diyah dalam pernyataannya yang diterima Tribun, Rabu(18/12/2024).
Diyah mengatakan bahwa terhadap meningkatnya kasus familicide KPAI menyatakan sikap tegas sebab sesuai Amanah Undang-Undang Perlindungan Anak bahwa Hak anak yang sudah meninggal adalah mendapatkan kejelasan penyebab kematiannya dan tidak mendapatkan stigma negatif.
Lebih lanjut Diyah menegaskan pentingnya hak anak untuk mendapatkan kejelasan penyebab kematian tanpa stigma negatif. Kejadian ini harus menjadi peringatan serius agar tidak terulang lagi, katanya.
Ia menegaskan KPAI mendesak kepolisian untuk segera mengusut tuntas penyebab kematian melalui autopsi dan penyelidikan transparan agar akar permasalahan dapat diketahui dan dicegah di masa depan.
"Juga meminta Kepolisian untuk memproses hukum ayah dalam kasus Kediri sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak, khususnya Pasal 76C junto 80. KPAI juga Mendorong Dinas Kesehatan dan UPTD PPA memberikan pendampingan psikologis kepada keluarga yang selamat, khususnya di Kediri, agar kondisi mental dan emosional mereka bisa pulih," kata Diyah.
Diyah mengajak masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dan pencegahan dini terkait kesehatan mental guna mencegah kejadian serupa.
"Kemudian penting juga agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menindak tegas pinjol yang melakukan intimidasi kepada nasabah dan memicu hilangnya nyawa," kata Diyah.
Tidak hanya masalah ekonomi, faktor mental dan emosional turut berperan besar dalam melahirkan tindakan nekat ini. Depresi, perasaan gagal, dan ketidakmampuan untuk mencari bantuan menjadi pemicu bertambahnya risiko.
Yang paling menyedihkan dari fenomena familicide adalah anak-anak yang turut menjadi korban.
Mereka tidak memiliki daya untuk melawan dominasi orang tua, apalagi jika usianya masih sangat muda.
"Kasus tragis anak yang ditemukan tergantung di Cirendeu menjadi contoh nyata bagaimana anak dipaksa untuk “ikut serta” dalam keputusan ekstrem orang tua. Pada anak-anak usia remaja, terkadang ada upaya perlawanan, tetapi dominasi fisik dan psikologis dari orang tua membuat usaha tersebut jarang berhasil," kata Diyah.
Diyah mengatakan dengan perhatian serius dari pemerintah, penegak hukum, masyarakat, dan keluarga besar, diharapkan kejadian serupa dapat dicegah di masa mendatang. Semua pihak harus bergerak bersama untuk memastikan keluarga yang tengah mengalami kesulitan tidak merasa sendirian dan menemukan solusi yang lebih manusiawi.
Budaya Keluarga
Lebih jauh Diyah mengatakan kurangnya pengawasan dari keluarga besar dan lingkungan sekitar turut memperburuk situasi ini.
Sebagai negara dengan budaya extended family atau keluarga terbuka, peran aktif keluarga besar sangat dibutuhkan untuk membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi anggotanya.
Tetangga dan masyarakat juga memiliki tanggung jawab untuk mengenali tanda-tanda perubahan perilaku dalam keluarga, seperti isolasi sosial, tekanan emosional yang meningkat, atau kesulitan ekonomi, agar tindakan pencegahan dapat segera dilakukan.
"Budaya extended family di Indonesia seharusnya menjadi peluang bagi keluarga besar untuk terlibat dalam mengatasi persoalan kerabat.
Namun, lemahnya pengawasan dan kurangnya kepedulian lingkungan sekitar sering membuat tanda-tanda awal masalah terabaikan. Ketidakterlibatan tetangga atau masyarakat dalam memantau situasi keluarga turut memperburuk kondisi," ujar Diyah.
Kasus familicide menekankan pentingnya membangun kepedulian sosial di tengah masyarakat. Keluarga besar, tetangga, dan pihak berwenang harus lebih peka terhadap perubahan mencurigakan dalam keluarga di sekitar mereka. Intervensi dini dapat mencegah tragedi, menyelamatkan nyawa, dan memutus rantai kekerasan dalam keluarga.
"Fenomena familicide adalah peringatan serius akan bahaya tekanan ekonomi dan gangguan mental yang tidak tertangani. Tragedi ini tidak hanya merenggut nyawa, tetapi juga meninggalkan trauma mendalam bagi keluarga yang tersisa. Anak-anak, yang seharusnya mendapatkan perlindungan, justru menjadi korban paling rentan dalam situasi ini, " pungkas Diyah.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.