Kejagung dan BPK Didorong Berkolaborasi Sita Uang Judi Online yang Mengalir di Lembaga Keuangan
Pasal 303 KUHP juga mengatur hukuman hingga 10 tahun penjara atau denda Rp25 juta bagi pelaku perjudian.
Penulis: Malvyandie Haryadi
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) diminta berkolaborasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyita dana judi online (judol) yang mengalir lewat sistem pembayaran nasional yang diselenggarakan perbankan atau lembaga keuangan non-bank.
"Itu pernah kita lakukan saat krisis moneter 1998. Di mana, banyak banyak bank mendapat guyuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dalam implementasinya bank menyalahgunakan. Namun untuk menyelamatkan uang negara, penyelesaiannya di luar pengadilan," kata Direktur Center for Banking Crisis (CBC), Achmad Deni Daruri, Jakarta, Kamis (19/12/2024).
Sehingga, kata dia, penyelesaian dana BLBI pada tahun tersebut menjadi lebih cepat dan bisa melanjutkan kegiatan perekonomian yang lebih baik.
"Maka untuk mempercepat penyelesaian duit Judol, sebaiknya BPK bekerja sama dengan Kejagung. Sita pendapatan judol yang tersimpan di lembaga pembayaran,” ungkapnya.
Dengan tindakan penyitaan duit-duit judi online itu, kata Deni, BPK bersama Kejagung akan memberikan efek jera kepada lembaga keuangan yang layanan transaksinya terkait dengan merchant judol.
"Lembaga sistem pembayaran, baik itu perbankan, e-wallet, operator seluler yang memfasilitasi judi online baik sengaja maupun tidak sengaja, mendapat ancaman pidana penjara hingga 6 tahun dan denda maksimal Rp1 miliar berdasarkan UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) pasal 27 ayat (2), dan pasal 45 Ayat (2)," bebernya.
Selain itu, lanjut Deni, Pasal 303 KUHP juga mengatur hukuman hingga 10 tahun penjara, atau denda Rp25 juta bagi pelaku perjudian.
Selain itu, bank dapat kehilangan dana hasil judi online yang dianggap sebagai hak pemerintah, dan pendapatan dari aktivitas ilegal ini akan disita.
"Sanksi ini menegaskan bahwa keterlibatan dalam judol tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga membawa risiko serius bagi reputasi dan operasional bank," ungkapnya.
Saat ini, kata dia, judi online berdasarkan data intelijen dari Kemenko Politik dan Keamanan, jumlah masyarakat yang bermain judi online sepanjang 2024 mencapai 8,8 juta orang. Sebanyak 80 persen adalah masyarakat kelas menengah ke bawah.
"Jadi judi online merupakan wabah yang sangat serius yang telah menyebabkan risiko sistemik di sistem pembayaran. Selain itu, memengaruhi kehidupan masyarakat baik secara sosial ekonomi, kesehatan dan mental," imbuhnya.
Lemahnya Pengawasan BI & OJK
Di sisi lain, lanjut Deni, ada pihak-pihak yang menikmati uang dari praktik judol dari sistem pembayaran yang dijalankan perbankan, e-wallet dan operator seluler.
"Dalam hal ini, baik Bank Indonesia (BI) maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berkontribusi besar. Karena lemahnya pengawasan kedua lembaga itu," kata Deni.
Ia menambahkan, koneksi pembayaran melalui GPN (Gerbang Pembayaran Nasional) maupun API (Application Programming Interface) di perbankan, sangatlah mudah.
Demikian, sambungnya, transaksi dari e-wallet ke PJP (penyedia sistem pembayaran) melemahkan E-KYC (electronic know your costumer) dan E-KYB (electronic know your bisnis).
"Ini bisa perbankan dan e-wallet tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu yang terkoneksi dalam sistem pembayaran mereka adalah merchant judi online," ungkapnya.
Berdasarkan data CBC, kata Deni, sepanjang 2017 hingga 2024, dana yang dinikmati perbankan, e-wallet dan operator seluler dari praktik judi online mencapai Rp1.416 triliun.
"Di mana, perbankan mendapat Rp3.000/transaksi, e-wallet Rp1.500/transaksi dan operator seluler mendapat Rp2.500 hingga Rp5.000 per top-up," katanya.
PPATK: Sindikat Judi Online Samarkan Transaksi Pakai Kripto
Belum lama ini, Deputi Bidang Analisis dan Pemeriksaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Danang Tri Hartono, mengungkapkan dari hasil analisis mereka terdapat indikasi sindikat judi daring (online) menggunakan mata uang kripto guna menyamarkan transaksi.
"Kripto ini bukan untuk trading, tetapi memfasilitasi transaksi tindak pidana, termasuk judi online. Triliunan rupiah diprediksi dialihkan ke kripto," kata Danang dalam diskusi.
Menurut Danang, transaksi judi online kini banyak beralih ke mata uang kripto. Hal ini membuat aktivitas ilegal semakin sulit dilacak.
Danang menambahkan, dari temuan PPATK sampai kuartal III 2024, total deposit rekening masyarakat terkait judi online mencapai Rp 43 triliun.
"Deposit masyarakat ke perjudian daring pada 2023 sebanyak Rp 34 triliun. Tahun 2024 sampai kuartal III naik menjadi Rp 43 triliun. Bayangkan 10 atau 20 persen dipakai operasional, sisanya lebih dari Rp30 triliun," ujar Danang.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.