Harvey Moeis Didakwa Rugikan Negara Rp 300 Triliun, Tapi Sandra Dewi Mengaku Tolak Nafkah dari Suami
Harvey Moeis terdakwa kasus korupsi tata niaga timah, dituntut rugikan negara hingga Rp 300 triliun, sementara istrinya Sandra Dewi mengaku tak pernah
Penulis: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Harvey Moeis terdakwa kasus korupsi tata niaga timah, sekaligus suami artis Sandra Dewi, akan mendengarkan pembacaan vonis atas putusan hari ini, Senin (23/12/2024).
Sejumlah keterangan sudah diberikan saksi hingga ahli dalam sidang.
Salah satu yang menjadi sorotan adalah keterangan Sandra Dewi.
Sandra Dewi mengatakan tak pernah mau terima nafkah dari suami untuk kepentingan pribadi.
Dirinya mengaku hanya menerima uang dari Harvey Moeis untuk kebutuhan rumah dan anak.
"Ibu kan istri Terdakwa ya, apakah setiap bulan Terdakwa ini memberikan uang?" tanya hakim anggota, Jaini Basir di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Kamis (10/10/2024).
"Kepada saya tidak Yang Mulia. Tapi untuk keperluan rumah tangga seperti membayar listrik, air, gaji karyawan di rumah, suami saya mentransfer ke asisten pribadi saya," jawab Sandra.
Lebih lanjut Sandra menjelaskan alasan suaminya mentransfer uang kepada asisten pribadinya.
"Karena saya meminta tolong asisten pribadi saya untuk mentransfer biaya listrik, air, juga uang sekolah anak, les anak, semua kebutuhan rumah suami saya transfer ke asisten saya," kata Sandra Dewi.
"Tapi untuk kebutuhan saya sendiri saya bayar sendiri Yang Mulia," tegas Sandra.
Hakim kemudian bertanya pada Sandra tentang alasannya memilih memenuhi kebutuhan pribadi dari uang sendiri dan bukan uang Harvey Moeis sebagai suami.
"Bukankah itu suatu kewajiban suami? Artinya setiap penghasilan dia berapa kan diserahkan ke istri, itu kan umumnya begitu walaupun istri punya penghasilan?" tanya hakim.
"Betul Yang Mulia, tapi saya tidak mau Yang Mulia, karena saya punya penghasilan yang cukup dari single sampai sekarang saya punya penghasilan yang cukup," jawab Sandra.
Dalam pernyataannya, Sandra mengatakan tidak pernah meminta uang sejak memiliki penghasilan sendiri.
Tidak kepada orangtua maupun suami.
"Jadi saya lebih senang, saya wanita yang mandiri Yang Mulia, saya tidak pernah minta uang ke orang tua saya sejak saya datang ke Jakarta ini. Kenapa saya harus meminta uang kepada suami saya," jawab Sandra.
"Suami saya cukup memenuhi kebutuhan rumah dan anak saya, tapi untuk kebutuhan saya sendiri, saya terbiasa membiayai diri sendiri," ucap Sandra lagi.
Dalam kesaksiannya, Sandra juga mengaku tak pernah menerima hadiah dari suami sejak menikah, kecuali cincin pertunangan dan cincin pernikahan.
Sementara mengenai mobil, Sandra mengatakan bahwa semua mobil bukan hadiah untuknya, karena dipakai bersama-sama.
Begitu juga saat ditanya soal penghasilan Harvey Moeis, Sandra mengaku tidak tahu karena memiliki perjanjian pisah harta sejak awal menikah.
"Saudara tahu penghasilannya per bulan bulan atau per tahun?" tanya hakim.
"Tidak Yang Mulia. Saya tidak pernah bertanya karena kami pisah harta dari awal sebelum menikah," jawab Sandra.
88 tas mewah Sandra Dewi tak ada yang dibelikan suami
Saat dihadirkan sebagai saksi di sidang kasus TPPU sang suami, Sandra Dewi memastikan 88 tas mewah yang disita penyidik Kejaksaan Agung RI (Kejagung RI), atas kasus Harvey Moeis adalah miliknya.
Sandra Dewi memiliki 88 tas mewah itu dari hasil endorsement dengan perusahaan tas, yang bekerjasama dengannya sejak tahun 2014.
"Suami saya tidak pernah kasih tas ke saya yang mulia hakim," kata Sandra Dewi kepada majelis hakim saat jadi saksi di sidang TPPU Harvey Moeis, suaminya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (21/10/2024).
Bahkan, Sandra meminta Harvey tidak memberikan hadiah tas mewah untuknya.
"Saya selalu melarang suami saya kasih tas sebagai hadiah ke saya. Kenapa? Karena saya sudah 10 tahun kerjasama dengan perusahaan tas, saya selalu diberikan tas," ucapnya.
"Jadi buat apa tas tersebut ketika dihadiahi kepada saya," sambungnya.
Meskipun demikian, Sandra mengaku Harvey sempat ingin memberikan hadiah tas mewah kepadanya.
Ia menanyakannya secara langsung.
"Sempat suami saya tanya, saya mau tas apa. Cuma sebelum dia nanya, perusahaan tas ini sudah menanyakan ke saya, saya mau tas seperti apa untuk diendorse nantinya," jelasnya.
Selama delapan tahun menikah, Sandra Dewi mengakui rutin mendapatkan hadiah dari Harvey Moeis, berupa handphone setiap tahunnya.
"Saya selalu diberikan iPhone setiap tahun sama suami saya, bukan tas," ujar Sandra Dewi.
Harvey Moeis diduga rugikan negara Rp 300 triliun
Harvey Moeis dinilai terbukti mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 300 triliun akibat keterlibatannya dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah.
Atas dasar tersebut yang kemudian jadi pertimbangan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam menjatuhkan pidana penjara 12 tahun terhadap Harvey Moeis dalam kasus tersebut.
"Hal memberatkan, terdakwa Harvey mengakibatkan kerugian keuangan negara yang sangat besar yaitu sejumlah Rp 300.003.263.938.131,14 (Rp 300 triliun)," ucap Jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (9/12/2024).
Adapun angka tersebut dikatakan Jaksa merupakan nominal yang telah dibagi dua oleh Harvey Moeis dan terdakwa Helena Lim dari keseluruhan nilai Rp 420 miliar.
Selain itu Harvey juga dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam rangka penyelengaran negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
"Perbuatan Terdakwa telah menguntungkan diri terdakwa sebesar Rp 210 miliar, (kemudian) terdakwa berbelit-belit dalam memberikan keterangan di persidangan," pungkas Jaksa.
Adapun terkait kasus korupsi timah ini sebelumnya Jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Agung membeberkan sejumlah bentuk penyamaran uang pengamanan tambang timah di Bangka Belitung yang dilakukan Harvey Moeis, suami dari artis Sandra Dewi.
Dalam dakwaan yang dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Rabu (14/8/2024) lalu, Harvey Moeis berperan mengkoordinir pengumpulan uang pengamanan dari para perusahan smelter swasta di Bangka Belitung.
Perusahaan smelter yang dimaksud ialah: CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Internusa.
"Terdawa Harvey Moeis dengan sepengetahuan Suparta selaku Direktur Utama PT Refined Bangka Tin dan Reza Andriansyah selaku Direktur Pengembangan Usaha PT Refined Bangka Tin meminta kepada CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Internusa untuk melakukan pembayaran biaya pengamanan kepada terdakwa Harvey Moeis sebesar USD 500 sampai dengan USD 750 per ton," ujar jaksa penuntut umum di persidangan.
Uang pengamanan tersebut diserahkan para pemilik smelter dengan cara transfer ke PT Quantum Skyline Exchage milik Crazy Rich Pantai Indah Kapuk (PIK), Helena Lim.
Selain itu, uang pengamanan juga ada yang diserahkan secara tunai kepada Harvey Moeis.
Seluruh uang yang terkumpul, sebagian diserahkan Harvey Moeis kepada Direktur Utama PT Refined Bangka Tin, Suparta. Sedangkan sebagian lainnya, digunakan untuk kepentingan pribadi Harvey Moeis.
"Bahwa uang yang sudah diterima oleh terdakwa Harvey Moeis dari rekening PT Quantum Skyline Exchange dan dari penyerahan langsung, selanjutnya oleh terdakwa Harvey Moeis sebagian diserahkan ke Suparta untuk operasional Refined Bangka Tin dan sebagian lainnya digunakan oleh terdakwa Harvey Moeis untuk kepentingan terdakwa," kata jaksa penuntut umum.
Selain itu, dia juga didakwa tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait perbuatannya menyamarkan hasil tindak pidana korupsi, yakni Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Penjelasan auditor BPKP soal kerugian negara Rp 300 triliun
Auditor Investigasi Badan Pengawasan dan Pembangunan (BPKP) Suhaedi menjelaskan soal ditemukannya kerugian negara mencapai Rp 300 triliun dalam kasus korupsi tata niaga timah.
Suhaedi mengatakan, temuan kerugian ratusan triliun itu diperoleh dari praktik penyimpangan kerjasama sewa smelter, pembelian bijih timah hingga kerusakan lingkungan.
Informasi itu Suhaedi jelaskan saat dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai ahli dalam sidang lanjutan kasus korupsi tata niaga timah di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (13/11/2024).
Duduk sebagai terdakwa dalam sidang ini yaitu crazy rich Pantai Indah Kapuk (PIK) Helena Lim, eks Direktur Utama PT Timah Tbk Mochtar Riza Pahlevi, mantan Direktur Keuangan PT Timah Tbk Emil Ermindra dan Direktur Utama PT Stanindo Inti Perkasa MB Gunawan.
Suhaedi menjelaskan hal itu bermula ketika tim-nya melakukan investigasi dengan mengunjungi 4 smelter swasta yang bekerjasama dengan PT Timah Tbk.
"Disebutkan smelter apa saja?," tanya Ketua Majelis Hakim Rianto Adam Pontoh.
"Yang pertama dari tim saya melaporkan ke smelter PT Sariwiguna Binasentosa, terus ke smelter CV Venus Inti Perkasa, terus kemudian ke smelter PT Stanindo Inti Perkasa, terus ke empat adalah ke smelter PT Refined Bangka Tin," kata Suhaedi.
"Nah prosesnya di kami berlaku bahwa setiap permintaan itu tidak serta merta dilakukan langsung surat penugasan, ada sarana ekspose. Jadi yang kedua surat tugas itu baru kita terbitkan 26 Februari 2024," ujar Suhaedi.
Lalu dalam proses audit itu tim BPKP menemukan sejumlah penyimpangan, pertama soal kerjasama sewa smelter.
Suhaedi menjelaskan bahwa telah ada pembayaran sebesar Rp 3 triliun lebih yang dilakukan oleh PT Timah terkait penyewaan smelter.
"Di kontrak sewa smelter ini antara PT Timah dengan smelter swasta itu sudah dilakukan pembayaran sebesar Rp 3 triliun sekian, ini untuk penyerahan logam timah 63,16 ton," jawab Suhaedi.
"Kemudian dari alur bijih timahnya baik yang dikirim ke smelter swasta maupun PT Timah, PT Timah telah membayar sebesar Rp 11,1 triliun untuk 68,01 ton yang disalurkan ke smelter swasta utk diolah," ujarnya.
Sedangkan pembayaran yang dilakukan PT Timah untuk yang diolah oleh PT Timah adalah sebanyak 85,99 ton itu sebesar Rp 15,5 triliun lebih.
Auditor BPKP juga menemukan adanya pembelian bijih timah yang dilakukan oleh PT Timah Tbk yang dimana bijih-bijih itu justru dibeli dari IUP mereka sendiri.
Selain itu diketahui pula bahwa bijih-bijih timah itu dibeli dari para penambang ilegal yang beroperasi di wilayah IUP PT Timah Tbk.
"Nah bijih timah ini yang diperoleh adalah dari para pelaku tambang timah ilegal yang melakukan aktivitasnya di wilayah IUP-nya PT Timah."
"Jadi skema perhitungan kami, terkait dengan perhitungan kerugian yang sebesar kurang lebih Rp 29 triliun itu gambaranya seperti ini Yang Mulia. Jadi ada dari kontrak sewa smelter, kemudian dari pembelian bijih timah," jelas Suaedi.
Lalu yang terakhir BPKP turut menemukan adanya kerusakan lingkungan daripada kasus korupsi timah ini.
Dimana kata dia kerugian negara dalam bentuk kerusakan lingkungan di kasus korupsi timah ini mencapai Rp 271 triliun sehingga total akibat kasus ini negara merugi mencapai Rp 300 triliun.
"Jadi unsur kerugian yang kami masukan sebagai kerugian keuangan negara itu ada tiga hal, yang pertama adalah sewa smelter swasta, kedua adalah pembelian bijih timahnya, kemudian adanya kerusakan lingkungan yang terjadi."
Baca juga: 8 Tahun Menikah, Sandra Dewi Larang Harvey Moeis Beri Hadiah Tas Mewah: Saya Selalu Diberikan iPhone
"Jadi dari jumlah poin satu, dua, tiga ini bisa kami sampaikan totalnya kerugian adalah sebesar Rp 300.003.263.938.131,14," pungkas Suaedi.
Adapun terkait kerugian negara akibat kasus korupsi timah ini sebelumnya diungkapkan oleh Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo.
Bambang menyebut bahwa kerugian negara akibat tambang timah di kawasan hutan dan di luar kawasan hutan dari tahun 2015 - 2022 sebesar Rp271 triliun.
"Kalau semua digabungkan kawasan hutan dan nonkawasan hutan total kerugian akibat kerusakan yang harus ditanggung negara adalah Rp271,06 triliun," kata Bambang saat Konferensi Pers di Gedung Kejaksaan Agung, Senin (19/2/2024) lalu.
Total Rp 271 triliun ini juga merupakan jumlah dari kerugian perekonomian akibat galian tambang di kawasan hutan dan nonhutan. Masing-masing nilainya Rp 223.366.246.027.050 dan Rp 47.703.441.991.650.
"Sampai pada kerugiannya berdasarkan Permen LH Nomor 7/2014 ini kan dibagi du ya, dari kawasa hutan dan nonhutan," ujar Bambang.
Rincian nilai kerugian perekonomian negara di masing-masing kawasan:
Kerugian untuk galian yang terdapat dalam kawasan hutan:
Biaya kerugian lingkungan (ekologis) Rp 157.832.395.501.025.
Biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp 60.276.600.800.000.
Biaya pemulihan lingkungan Rp 5.257.249.726.025.
Kerugian untuk galian yang terdapat dalam kawasan nonhutan:
Biaya kerugian lingkungan (ekologis) Rp 25.870.838.897.075.
Biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp 15.202.770.080.000.
Biaya pemulihan lingkungan Rp 6.629.833.014.575.
Sebagai informasi, berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun.
Perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.
Kerugian negara yang dimaksud jaksa, di antaranya meliputi kerugian atas kerja sama penyewaan alat hingga pembayaran bijih timah.
Tak hanya itu, jaksa juga mengungkapkan, kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan nilainya mencapai Rp 271 triliun. Hal itu sebagaimana hasil hitungan ahli lingkungan hidup. (*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.