Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi: Wacana Pemaafan Koruptor adalah Ilegal
Pernyataan Prabowo mengenai pemberian maaf kepada koruptor tak sejalan dengan makna kejahatan korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa.
Editor: Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi menyoroti pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang bakal memberikan kesempatan kepada para koruptor untuk bertobat.
Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi menilai, pernyataan Presiden Prabowo mengenai pemberian maaf kepada koruptor tidak sejalan dengan makna kejahatan korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa.
Baca juga: Penjelasan Mahfud MD Sebab Memaafkan Koruptor Dilarang Hukum
Karena sifatnya yang luar biasa, maka perlu ada upaya luar biasa pula yang wajib dilakukan oleh Pemerintah. Bila tidak, maka upaya memberikan efek jera pada koruptor semakin jauh panggang dari api.
"Pengampunan kepada koruptor tersebut dapat dipastikan akan semakin memperburuk kondisi perlawanan terhadap korupsi yang kini telah melemah. Kondisi tersebut jelas juga tak menguntungkan pemerintahan Prabowo Subianto karena wabah korupsi juga mengancam program-program strategis pemerintah," kata Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi dalam rilisnya, Selasa (23/12/2024).
Baca juga: Respons MUI Soal Pernyataan Presiden Beri Kesempatan Koruptor Tobat: Buatkan Dasar Hukumnya
Dalam memberikan efek jera bagi koruptor, Pemerintah patut diduga tidak melakukannya dalam koridor yang “luar biasa”. Jika pemerintah serius ingin mengoptimalkan pengembalian kerugian yang diakibatkan praktik korupsi, alih-alih memberi pengampunan, pemerintah semestinya segera merealisasikan pengesahan RUU Perampasan Aset yang telah molor sejak 2012 lalu.
"RUU tersebut patut dilihat juga sebagai upaya pemulihan keuangan negara terhadap kerugian kejahatan ekonomi, termasuk korupsi. Jika aturan tersebut disahkan, maka koruptor tidak perlu lagi untuk mengembalikan kerugian negara secara sukarela. Sebab, telah ada mekanisme hukum yang ditempuh agar pengembalian kerugian negara jauh lebih optimal," lebih lanjut bunyi pernyataan tersebut.
Rentetan milestone peristiwa di atas semakin menunjukkan bahwa komitmen pemerintah secara sungguh-sungguh menganggap korupsi adalah kejahatan luar biasa tidak disertai penanganan luar biasa.
Pernyataan pengampunan kepada koruptor juga merupakan suatu bentuk anomali kebijakan melawan korupsi yang juga bertentangan dengan perangkat hukum yang berlaku.
Dikatakan bunyi pernyataan Masyarakat Sipil Antikorupsi itu pasang surut upaya penindakan kasus-kasus korupsi di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda usai. Revisi UU KPK tahun 2019 menjadi plot twist konstruksi lembaga anti rasuah.
Paska revisi, KPK secara penuh di bawah supervisi presiden. Demikian juga dengan status kepegawaian staf KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Perubahan konstruksi lembaga yang lahir dari rahim reformasi ini berakibat pada lemahnya taji upaya pemberantasan korupsi, serta kewenangan supervisi dan koordinasi antar lembaga penegak hukum yang selama ini menjadi salah satu strategi KPK untuk mendorong sinergitas pemberantasan korupsi.
Rentetan dramaturgi pelemahan fungsi dan kewenangan KPK masih berlanjut saat proses seleksi pimpinan dan dewan pengawas periode 2019-2023 dan 2024-2029.
Kelompok Masyarakat Sipil Antikorupsi menilai bahwa proses seleksi berjalan berlawanan dengan logika publik. Terpilihnya komisioner yang dianggap memiliki catatan terhadap kompetensi dan integritas serta catatan dugaan pelanggaran kode etik, adalah bukti, logika publik yang dianggap sepi oleh panitia seleksi.
Baca juga: Eks Penyidik KPK Sebut Wacana Pengampunan Koruptor Lewat Pengembalian Uang Korupsi Tak Masuk Akal
Pun yang terjadi pada fit and proper test yang digelar komisi III DPR RI. Hasil voting anggota legislatif tersebut memperlihatkan bahwa kesepakatan untuk mendukung 5 calon pimpinan telah diambil sebelum proses pemungutan suara diambil.
"Kondisi saat ini pun juga tidak berubah secara signifikan pasca 59 hari Prabowo Subianto dilantik menjadi Presiden. Malah, salah satu program Asta Cita yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan korupsi berpotensi hanya akan menjadi lip service belaka saat Presiden menyampaikan bahwa akan memberikan maaf kepada koruptor ketika bersedia mengembalikan kerugian negara," ujarnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.