Daya Beli Warga RI Disebut Menurun, Asosiasi E-commerce Ungkap Animo Masyarakat Masih Baik
Selain itu, produk dengan harga menengah hingga rendah disebut masih memiliki permintaan yang relatif baik.
Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Hendra Gunawan
Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) menyatakan bahwa animo masyarakat terhadap belanja online masih cukup baik di tengah ramainya pembicaraan mengenai penurunan daya beli masyarakat di Indonesia.
Menurut Sekretaris Jenderal idEA Budi Primawan, produk mewah yang biasanya paling terpengaruh oleh penurunan daya beli, saat ini justru dapat bertahan
"Kita lihat biasanya yang pertama terpengaruh kan produk berharga tinggi ya, justru yang tinggi sekali itu lebih bertahan. Mobil mewah, barang mewah, karena marketnya berbeda," katanya kepada wartawan di Jakarta Pusat, dikutip Sabtu (8/10/2024).
Baca juga: Prospek Pasar E-commerce Indonesia Dinilai Jadi Alasan Temu Ingin Masuk RI
Selain itu, produk dengan harga menengah hingga rendah disebut masih memiliki permintaan yang relatif baik.
Konsumen dinilai masih bersedia berbelanja untuk barang dengan harga beberapa juta.
Dia juga menyebutkan bahwa saat ini beberapa sektor selain marketplace seperti penyedia layanan on demand di bidang makanan, minuman, dan agen perjalanan, masih menunjukkan performa yang baik.
"Pada saat kita ngomong e-commerce, kan bukan hanya teman-teman marketplace, tapi (juga) teman-teman dari on demand. Makanan, minuman, lalu travel agent, itu kemarin saya dengar, anggota idEA yang bergerak di bidang travel agent, lumayan baik tuh pada saat ini," ujar Budi.
“Bahkan, saat agen perjalanan mengadakan promosi, animo masyarakat masih cukup baik saat ini,” lanjutnya.
Budi mengakui bahwa dampak dari penurunan daya beli mungkin tidak akan langsung terasa.
Baca juga: E-Commerce Ini Terbaik dalam Indikator Kepuasan Pembeli hingga Penjual Brand Lokal & UMKM
Dalam jangka pendek, ia tidak merasa khawatir, tetapi mungkin bisa berbeda dalam enam bulan hingga satu tahun ke depan jika situasi deflasi Indonesia tidak mengalami perubahan.
Adapun penurunan daya beli ini sering dikaitkan dengan Indonesia yang saat ini sedang mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut.
"Mungkin kalau dalam jangka panjang, enam bulan sampai satu tahun, mungkin kalau situasi tidak terjadi perubahan, bisa ada pengaruh. Enggak hanya ke e-commerce ya, tetapi ke barang-barang fast moving yang lain," ujar Budi.
Guna menghadapi berbagai kemungkinan ke depan, ia menyoroti pentingnya kehadiran promo harga dalam menarik konsumen.
Promo harga disebut bukan hanya tanggung jawab e-commerce, tetapi juga melibatkan penjual dan penyedia layanan pembayaran.
"Kalau teman-teman lihat kan, baik perbankan maupun fintech, kalau belanja apa, ada promo, cashback, kalau yang cicilan bebas sebulan lah. Itu juga jadi pendorong juga. Jadi bukan hanya dari marketplace-nya saja. Intinya, harga menjadi faktor, apalagi kalau di e-commerce" jelas Budi.
Kata Sri Mulyani Soal Daya Beli Menurun
Menteri Keuangan Sri Mulyani membantah anggapan bahwa daya beli masyarakat Indonesia menurun
Ia menjelaskan bahwa untuk menilai daya beli, perlu dilihat dari berbagai indikator.
"Indikator yang paling frequent yang kita lihat kan seperti consumer confidence, tapi itu mungkin basisnya di perkotaan," kata Sri Mulyani ketika ditemui di Gedung Djuanda I, Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Jumat (4/10/2024).
Menurut dia, jika dilihat dari berbagai indeks, daya beli masyarakat masih tergolong tinggi dan aktivitas masyarakat tetap stabil.
"Apakah indeks kepercayaan konsumen atau indeks retail atau indeks purchasing, kita melihat masih pada level yang stabil dan tinggi. Artinya tidak ada koreksi yang tajam tiba-tiba menurun tajam," ujar Sri Mulyani.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menjelaskan bahwa persepsi tentang daya beli masyarakat seringkali dipengaruhi oleh studi soal kondisi kelas menengah.
Ia mengakui bahwa sebagian dari kelas menengah turun ke kelompok rentan. Namun, di saat yang sama, ada juga masyarakat miskin yang berhasil naik menjadi aspiring middle class.
"Dalam hal ini kita melihat adanya dua indikator. Yang miskin naik, tapi yang kelas menengah turun," ucap Sri Mulyani.
Ia menekankan bahwa penurunan kelas menengah biasanya dipicu oleh inflasi. Dengan inflasi yang tinggi, garis kemiskinan juga naik, sehingga beberapa dari mereka terpaksa jatuh ke bawah.
Sri Mulyani pun menegaskan bahwa secara keseluruhan, situasi masih konsisten, mengingat Indonesia tidak sedang berada pada kondisi inflasi yang tinggi, tetapi deflasi.
"Penurunan kelas menengah biasanya karena inflasi. Dengan inflasi tinggi, maka garis kemiskinan naik, mereka tiba-tiba akan jatuh ke bawah. Jadi kita melihat sekali lagi konsisten," pungkasnya.