Pengamat: Penggemar Fanatik Paling Tersakiti Jika Sebuah Merek Otomotif Hengkang
Di atas kertas, total penjualan Chevrolet di Indonesia sejak Januari - September 2019 hanya mencapai 970 unit.
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Lita Febriani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menyusul Ford yang telah cabut dari bisnis otomotif di Indonesia sejak Januari 2016 lalu, General Motors juga bulat akan menghentikan penjualan kendaraannya di Indonesia mulai akhir Maret 2020.
Pengamat otomotif Bebin Djuana menilai, hengkangnya kedua merek otomotif asal Amerika Serikat tersebut tak lepas dari tipikal atau gaya orang Amerika dalam berbisnis.
"Mungkin nggak banyak orang tahu adalah gaya berbisnis. Ketika seorang karyawan di sana (AS) sudah tidak diinginkan, kan ngga kayak di kita. Mereka kalau sudah nggak diinginkan, kemas barangmu, besok nggak usah datang, culture dan budayanya begitu. Kalau (berdasar hasil) kalkulasi di atas kertas tidak memuaskan, ya sudah (cabut saja)," tutur Bebin saat dijumpai di kawasan GBK, Senayan, Jakarta, Sabtu (9/11/2019).
Di atas kertas, total penjualan Chevrolet di Indonesia sejak Januari - September 2019 hanya mencapai 970 unit.
Penjualan tahun 2019 turun hampir 50 persen dari realisasi penjualan di periode sama di 2018, sebanyak 1.887 unit.
Bebin mengatakan, jika sebuah merek otomotif memutuskan angkat kaki dari sebuah negara, sebaiknya dipikirkan matang-matang.
"Saya melihatnya sayang aja. Bahwa membangun kepercayaan brand ke publik itu nggak gampang sekali. Ketika sudah ada yang suka dengan brand tersebut, lalu main tinggal gitu aja," ujarnya.
"Terus terang saya merasa seperti kok (kita) kayak digeletakin gitu aja ya. Itu buat saya nggak bagus," terang Bebin Djuana.
Meski telah menunjuk layanan after sales, kepercayaan para konsumen terhadap merek otomotif yang angkat kaki dari Indonesia dipastikan akan menurun.
Terlebih kepercayaan dari konsumen fanatik brand tersebut. Mereka akan menjadi pihak yang paling tersakiti akibat keputusan hengkangnya sebuah brand.
Bebin juga memastikan ketika suatu saat brand tersebut berniat kembali lagi ke Indonesia, akan sulit merebut kepercayaan publik.
"Ketika nanti suatu saat kembali lagi kok kayaknya akan sulit untuk mendapatkan kepercayaan. Mereka berpikir bahwa hal-hal kayak gitu biasa, buat masyarakat Indonesia sensitif lho. Memang kebetulan sih keduanya dari Amerika," jelasnya.
Ia menambahkan, apapun alasan dan kesulitan sebuah brand menggarap pasar lokal, lebih baik diperjuangkan untuk tetap bertahan di suatu negara.
"Kalau brand sudah terbentuk kemudian ditinggalkan, itu kan sayang. Saya bilang apapun alasannya, mustinya diperjuangkan," sambung Bebin.