Menristek Dikti di Rembug Nasional: Pemerintah Gencarkan Pendidikan Vokasi, Dosen Tak Harus S2
"(Aturannya) saya bongkar, tidak peelu lagi nomenklatur. Yang penting rumpunnya. Kampus jangan lagi buka Prodi, tapi tidak ada peminatnya."
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir menegaskan, Pemerintah melalui kementeriannya akan lebih menggencarkan pendidikan vokasi untuk menyambungkan kebutuhan dunia industri akan sumberdaya manusia (SDM) yang handal dengan lulusan yang dihasilkan oleh perguruan tinggi.
Berbicara di acara Rembug Nasional bertajuk 'Revolusi Pendidikan Tinggi Dalam Menghadapi Era Digital Disruption' yang diselenggarakan Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) di Kampus Universitas Esa Unggul, Kebon Jeruk, Jakarta, hari ini, Rabu (29/11/2017), Mohamad Nasir mengatakan, untuk mendorong lebih kuat lagi pendidikan vokasi, Kemenristekdikti memangkas berbagai regulasi pendidikan tinggi menjadi lebih sederhana.
"(Aturannya) saya bongkar, tidak peelu lagi nomenklatur. Yang penting rumpunnya. Kampus jangan lagi buka Prodi (program diploma) tapi tidak ada peminatnya. Yang tahu (kebutuhan jurusan) sekarang adalah masyarakat dan dunia industri," ungkap Nasir.
Nasir menegaskan, terkait perombakan regulasi ini, Kemenrsitekdikti hanya mengunci rumpunnya dan penjenjangan gelar kesarjanannya, mulai dari sarjana, magister, doktor, agar lebih sederhana dan gampang.
"Tapi dosennya harus berkualifikasi, kampusnya harus sehat dan lain lain. Dalam era disruptif seperti sekarang, yang penting bagi kita adalah gimana melakukan terobosan dengan memanfaatkan artificial intelligence. Ini harus kita tangkap sebagai peluang. Perguruan tinggi harus adaptif menangkap tren ini. Perguruan tinggi yang siap saat ini memang masih sangat terbatas, karena itu kita harus dorong perguruan tinggi kesana," paparnya.
Terkait dengan kualifikasi dosen yang boleh mengajar di perguruan tinggi yang vokus di pendidikan vokasi, Kemenristekdikti tidak mengharuskan mereka lulusan S1, S2 atau S3.
Baca: Presiden Jokowi: Jangan Campurkan Ekonomi dan Politik
Baca: Dokter RSCM: Kondisi Syaraf Setya Novanto Masih Baik
"Di pendidikan vokasi ini, dosen pengajar nggak harus berkualifikasi S3 dan S3 atau S1. Dari D3 pun nggak masalah asal punya kompetensi, terutama mereka yang berasal dari kalangan (praktisi) industri. Kami sudah temukan 100 orang (staf pengajar) untuk masuk ke pendidikan vokasi ini. Salah satunya permohonan sudah masuk di salah satu lembaga pendidikan vokasi di Medan. Ini adalah terobosan," lanjutnya.
Sementara, untuk mngantisipasi digital disruption harus libatkan lintas kementerian seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Hukum dan HAM dan lain-lain.
Nasir menambahkan, mengantisipasi tren ekonomi yang disruptif seperti sekarang, antisipasinya adalah dengan menciptakan pendidikan berbasis kompetensi.
"Perguruan tinggi di Indonesia harus antisipasi ini agar tak kalah bersaing. Kebijakan-kebijakan pemerintah tentang distance learning sedang disiapkan. Indonesia punya 4.539 perguruan tinggi dengan jumlah mahasiswa 6,8 sampai 7 juta," bebernya.
Dia menambahkan, daya saing bangsa kita masih rendah, itu hal dominan yang harus kita perhatikan. Global competitiveness Indonesia masih rendah karena skill worker (tenaga kerja terampil sesuai kualifikasi) terbatas, dan ada problem di inovasi.
"Inggris saat ini lakukan revitalisasi pendidikan vokasinya. Mereka melakukan hal yang sama seperti kita. Skill worker yang bagus bs didapatkan dari sumber daya manusia yang baik," Nasir membandingkan.