Daya Beli Masyarakat Menurun, 57.621 Unit Rumah Siap Huni Belum Terjual
Adanya pelemahan daya beli masyarakat cukup berdampak terhadap penyerapan jumlah hunian rumah baru, khususnya di kisaran harga menengah ke bawah.
Penulis: Yanuar R Yovanda
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencatat ada 57 ribu rumah ready stock atau siap huni belum terjual akibat dampak pandemi Covid-19.
Direktur Jenderal Perumahan Kementerian PUPR Iwan Suprijanto mengatakan, pihaknya mendapat data tersebut setelah berdiskusi dengan REI, APERSI, serta Perumnas.
"Berdasarkan data kami sampai dengan hari ini, terdapat 57.621 unit rumah ready stock yang belum terjual," ujar Iwan Suprijanto dalam webinar "Kuat Bersama Sektor Properti sebagai Lokomotif Pemulihan Ekonomi", Jumat (4/2/2022).
Adanya pelemahan daya beli masyarakat dinilai cukup berdampak terhadap penyerapan jumlah hunian rumah baru, khususnya di kisaran harga menengah ke bawah.
"Jadi, memang rumahnya tersedia, harga juga sesuai dengan cost-nya begitu ya. Tetapi, ini diakibatkan daya beli masyarakat yang menurun pada situasi pandemi Covid-19," kata Iwan.
Selain itu, juga adanya kehilangan potensi serapan hunian rumah karena banyak kegiatan masyarakat telah mengalami disrupsi saat pandemi.
Baca juga: Sektor Properti Mulai Pulih, LPKR Siap Genjot Kinerja di 2022
"Sektor ritel banyak berubah, misal pasar-pasar tradisional mulai bergeser ke belanja online dan sektor kuliner dari yang punya restoran atau rumah makan, bergeser ke menggunakan aplikasi. Perubahan-perubahan ini membuat masyarakat pertahankan uang untuk keperluan lain serta kesehatan, sehingga untuk pembelian rumah menjadi berkurang," ujar Iwan.
Iwan Suprijanto juga mengatakan, pihaknya mencatat jumlah backlog menembus 12,75 juta unit rumah.
Backlog perumahan adalah jumlah kekurangan rumah yang didapat dari selisih antara jumlah kebutuhan akan rumah dengan jumlah rumah yang ada.
"Berdasarkan data tahun 2020, angka backlog kepemilikan rumah ini mencapai 12,75 juta. Ini belum termasuk dengan adanya pertumbuhan keluarga baru sebesar 700.000 sampai 800.000 per tahun," ujarnya.
Pemerintah juga menghadapi tantangan lain yakni adanya keterbatasan sumber pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mengurangi jumlah backlog.
"Jadi, (pembiayaan) ini makin terbatas, sehingga dukungan dari berbagai pihak sangat kita harapkan," kata Iwan.
Lebih lanjut, dia mengungkapkan, juga ada keterbatasan pembiayaan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di sektor informal.
"Mayoritas MBR di Indonesia berasal dari sektor informal dan masih sulit mendapatkan bantuan pembiayaan dari bank untuk pembelian rumah. Jadi, ada kelompok yang istilah saya non bankable serta non fixed income belum punya akses terhadap perbankan," katas Iwan.
Diketahui, salah satu kendala pengembang properti dalam membangun lebih banyak rumah hunian adalah karena belum adanya peraturan daerah (perda) yang mengatur terkait pemungutan retribusi penerbitan persetujuan bangunan gedung (PBG).
Ketiadaan perda ini dianggap sebagai penghambat ketersediaan rumah hunian di Indonesia, yang justru dapat membuat angka backlog perumahan semakin membengkak.
Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) menilai regulasi terkait persetujuan bangunan gedung (PBG) masih menjadi hambatan para pengembang properti untuk mencapai kinerja industri properti yang lebih baik.
"Sebagai pengganti aturan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sejak 21 Oktober 2021 lalu, sampai sekarang hampir semua kabupaten ataupun kotamadya, belum memiliki Perda PBG. Sehingga ini menghambat pembangunan rumah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan rumah real estate komersial, baik perumahan baru maupun perumahan lama yang belum terbit IMB nya," ujar Sekjen DPP APERSI Daniel Djumali.
Menurut Daniel, bila aturan PBG tertunda selama 6 bulan, maka akan terjadi idle investasi bidang properti sekitar Rp 150 triliun.
Padahal investasi ini dibutuhkan untuk menggerakkan roda perekonomian dibidang properti maupun keuangan.
Masa pandemi Covid-19, terbukti sektor properti menyerap puluhan juta tenaga kerja khususnya perumahan bagi MBR dan milenial.
Baca juga: Ini Rekomendasi 5 Perumahan di Ciputat Yang Cocok Dimiliki di Tahun 2022
Belum lagi dampaknya bagi 170 sektor properti lainnya mulai dari semen, batu, pasir, keramik, genteng, meja, kursi, elekronika, lampu, dan lain-lain yang juga banyak menyerap jutaan tenaga kerja.
Untuk itu, Daniel menilai dibutuhkan adanya terobosan dan koordinasi yang guna mengurai kebuntuan masalah perizinan ini.
Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) Totok Lusida menambahkan, dengan adanya aturan jelas soal PBG, itu akan menggairahkan pasar properti.
Ia menjelaskan di tahun 2021, dari 70.000 unit rumah MBR, yang terealisasi hanya sekitar 6.000 unit rumah.
"Realisasi tersebut tidak mencapai 10 persen. Dengan demikian, sisa dari rumah yang belum terealisasi, dapat segera terealisasi kalau perizinan terkait PBG dapat segera diterbitkan," ucap Totok.
Totok menambahkan, dalam upaya mengurangi backlog perumahan langkah yang dibutuhkan adalah memperbanyak penyediaan rumah hunian.
Dalam 1 tahun setidaknya dibutuhkan 1 juta unit rumah hunian agar dapat menutupi backlog perumahan secara berkala.
Di tahun 2022 ini, REI memperkirakan produksi rumah hunian jumlahnya akan meningkat dari tahun lalu.
Ia memberi gambaran, kebutuhan rumah untuk segmen MBR sekitar 200.000 unit per tahun.(Tribun Network/van/ktn/wly)