Menyekutukan Allah Dosa Paling Besar, Bisakah Diampuni?
Kenapa Syirik masuk ke dalam salah satu dosa besar dan tidak diampuni Allah SWT?
Editor: Y Gustaman
TRIBUNNEWS.COM - Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu. Kenapa Syirik masuk ke dalam salah satu dosa besar dan tidak diampuni?
Jawaban:
Tidak hanya salah satu dosa besar, bahkan syirik adalah doa yang paling besar yang pernah dijelaskan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Abdullah Ibn Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu bertanya tentang itu;
أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ؟ قَالَ: أَنْ تَجْعَلَ للهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ
“Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah? Beliau menjawab: Dosa membuat tandingan untuk Allah, padahal Dialah yang menciptakanmu." (HR: Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Alasan syirik masuk dosa paling besar dapat dipahami dari aspek etika pada contoh berikut ini. Seorang anak yang sejak kecil dibesarkan orangtuanya, diberikan nakfah meskipun dalam keadaan sulit, dididik menjadi orang yang baik, diberikan perhatian lebih dari perhatian mereka kepada orang lain hingga anak sudah besar sekalipun, sudah cukup menjadi alasan adanya hak orangtua untuk dipatuhi dan dihormati anak. Bahkan hanya sekedar payah dan letih yang telah dikerahkan orangtua sama sekali tidak akan mampu dibalas anak.
Naluri manusia normal akan mengatakan anak itu tidak bermoral dan durhaka jika tidak patuh dan tidak menaruh rasa hormat kepada orangtuanya meski kasih sayang mereka tidak akan luntur oleh sikap anak yang tidak bermoral tersebut. Barangkali sikap tidak bermoral yang terbayang bagi kita saat ini adalah dengan sebab kata-kata yang menyakiti, tidak peduli, hingga mengusir mereka, dan sebagainya -naudzubillah.
Akan tetapi ternyata hal lain yang dapat membuat orangtua terluka dan sedih adalah jika anak yang mereka besarkan justru menggantungkan harapan kepada orang lain yang sama sekali tidak ada hubungan dengannya padahal orangtua masih sanggup memenuhi harapan anak mereka, memberikan perhatian lebih kepada orang lain namun tidak peduli pada kedua orang tuanya, seakan pura-pura tidak mengetahui seperti mereka dianggap tidak ada.
Betapa besar kecemburuan orangtua kepada anaknya jika mereka tidak dijadikan tumpuan harapan oleh anak meski mereka mampu memberikan apa yang diharapkan anak, sebagaimana mereka akan lebih cemburu jika perhatian yang seharusnya menjadi hak mereka justru diberikan anaknya kepada orang lain. Namun apa dikata, orangtua tidak kuasa menghukum anaknya karena kasih sayang menyelimuti amarahnya. Tinggallah di sini satu dosa besar bagi anaknya karena telah durhaka kepada kedua orang tuanya.
Lebih dari hubungan orangtua dengan anak, hubungan Allah dengan makhluknya jauh lebih kuat dari hanya sekedar hubungan memberi nikmat yang tidak dapat dihitung oleh makhluk sebagai penerima nikmat tersebut, bahkan hubungan yang tidak ada di antara orang tua dengan anaknya, yaitu hubungan antara yang disembah dengan yang disembah atau hubungan ubudiyah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Mu‘az Ibn Jabal radhiyallahu ‘anhu;
هَلْ تَدْرِي مَا حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ؟ قَالَ: قُلْتُ اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « فَإِنَّ حَقَّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلاَ يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“Tahukah kamu hak Allah yang wajib dipenuhi hamba-Nya? Muaz menjawab: Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. Rasulullah melanjutkan: Hak Allah yang harus dipenuhi hamba-Nya adalah disembah dan tidak boleh diperserikatkan dengan yang lain.” (HR: Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Barangkali yang menjadi kekhawatiran sebagian orang yang terjerumus kepada kesyirikan adalah tidak akan mendapatkan ampunan Allah subhanahu wa ta‘ala berdasarkan surat an-Nisa’ ayat 116 yang berbunyi;