Menyekutukan Allah Dosa Paling Besar, Bisakah Diampuni?
Kenapa Syirik masuk ke dalam salah satu dosa besar dan tidak diampuni Allah SWT?
Editor: Y Gustaman
إِنَّ اللهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, namun Dia mengampuni dosa lainnya bagi orang yang dikehendaki-Nya. Siapa saja memperserikatkannya berarti amat jauh kesesatannya.”
Namun dalam surat al-Furqan ayat 68-71 Allah berfirman;
وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللهِ إِلهًا آَخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا (68) يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا (69) إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا (70) وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللهِ مَتَابًا (71)
“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina. Barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat balasan dosanya. Akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Allah maha pengampun lagi maha penyayang. Dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.”
Di sini disebutkan salah satu dosa besar yaitu memperserikatkan Allah dalam penyembahan, namun berikutnya Allah memberikan jaminan ampunan bagi orang yang bertaubat dan melaksanakan amalan saleh agar dosa-dosa tersebut dapat digantikan oleh Allah dengan kabaikan.
Ayat pertama dapat dipahami menggunakan hadis berikut;
عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ مَا الْمُوجِبَتَانِ؟ فَقَالَ: مَنْ مَاتَ لاَ يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا دَخَلَ النَّارَ
Dari Jabir, ia berkata; Seseorang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bertanya, “Apakah dua keniscayaan itu? Beliau manjawab; Orang yang meninggal tanpa memperserikatkan Allah niscaya dia masuk surga. Dan siapa yang meninggal dalam keadaan syirik kepada Allah niscaya dia masuk neraka."(HR: Imam Ahmad dan Imam Muslim)
Jika pemahaman hadis ini dipadukan dengan ayat di atas dapat dipahami bahwa orang yang meninggal dalam keadaan syirik, kufur, dan tidak bertaubat sebelum ia meninggal tidak akan Allah ampuni. Berbeda dengan dosa besar lainnya meski terbawa mati, jika Allah kehendaki akan diampuni sesuai dengan firmannya.
Namun tidak lantas seseorang yang sempat terjerumus kepada kesyirikan membuatnya putus asa seakan sudah pasti tidak akan diampuni oleh Allah subhanahu wa ta‘ala padahal Allah masih memberikannya kehidupan untuk digunakan untuk benar-benar bertaubat kepada-Nya dan memperbanyak amal kebaikan.
Bukankah kekufuran dan penyembahan tuhan yang lain adalah syirik yang paling besar, namun jika penganutnya bersyahadat dan meninggalkan kesyirikan maka Allah akan mengampuninya selama tidak kembali kepada kesyirikan dan mati dalam keadaan itu.
Imam Thabari di dalam tafsirnya menjelaskan sebab turun surat an-Nisa ayat 116 di atas pada kasus seseorang yang yang bernama Tha‘mah Ibn Ubairiq yang meninggal dalam keadaan munafik, syirik dan mengkhianati Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam;
إِنَّ اللهَ لَا يَغْفِرُ لِطَعْمَة إِذْ أَشْرَكَ وَمَاتَ عَلَى شِرْكِهِ بِاللهِ، وَلَا لِغَيْرِهِ مِنْ خَلْقِهِ بِشِرْكِهِمْ وَكُفْرِهِمْ بِه. "وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ"، أَيْ: وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ الشِّرْكِ بِاللهِ مِنَ الذُّنُوْبِ لِمَنْ يَشَاءُ. يَعْنِيْ بِذلِكَ جَلَّ ثَنَاؤُهُ: أَنَّ طَعْمَةَ لَوْلَا أَنَّهُ أَشْرَكَ بِاللهِ وَمَاتَ عَلَى شِرْكِهِ، لَكَانَ فِيْ مَشِيْئَةِ اللهِ عَلَى مَا سَلَفَ مِنْ خِيَانَتِهِ وَمَعْصِيَتِهِ، وَكَانَ إِلَى اللهِ أُمْرُهُ فِيْ عَذَابِهِ وَالْعَفْوِ عَنْهُ، وَكَذلِكَ حُكْمُ كُلِّ مَنِ اجْتَرَمَ جُرْمًا، فَإِلَى اللهِ أَمْرُهُ، إِلَّا أَنْ يَكُوْنَ جُرْمُهُ شِرْكًا بِاللهِ وُكُفْرًا، فَإِنَّهُ مِمَّنْ حَتْمٌ عَلَيْهِ أَنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ إِذَا مَاتَ عَلَى شِرْكِهِ، فَأَمَّا إِذَا مَاتَ عَلَى شِرْكِهِ، فَقَدْ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ