Kisah Pengusaha Tionghoa Jusuf Hamka Penasaran Salat hingga Ucapkan Syahadat di Depan Buya Hamka
Salah satu pengusaha sukses yang juga penggagas dari pembangunan Masjid Babah Alun, Jusuf Hamka seorang mualaf. Kisahnya peluk Islam dari penasaran.
Editor: Anita K Wardhani
Laporan wartawan TribunJakarta.com, Pebby Adhe Liana
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA.COM, JAKARTA - Suara azan mulai berkumandang, memanggil setiap jEmaah untuk melakukan salat zuhur di masjid bernuansa oriental, Babah Alun Desari.
Letaknya, tak jauh dari gerbang Tol Cilandak Utama, Jakarta Selatan. Meski berada di pinggir gerbang tol, setiap waktu salat masjid ini selalu dikunjungi para jamaah.
Seorang pria dengan rambutnya yang sedikit memutih duduk bersimpuh di pelataran halaman masjid tanpa alas, menyapa para jamaah yang juga barusaja melaksanakan salat.
"Duduk lesehan saja ya, biasanya saya juga lesehan," kata pria tersebut yang merupakan Jusuf Hamka, pengusaha infrasutruktur sukses di Indonesia, saat mengajak saya berbincang baru-baru ini.
Jusuf Hamka, adalah salah satu pengusaha sukses yang juga penggagas dari pembangunan Masjid Babah Alun.
Baca juga: Dari Jualan Es Mambo di Istiqlal, Jusuf Hamka Pengusaha Tionghoa Bercita-cita Bangun 1000 Masjid
Baca juga: Pesan Keberagaman Pada Bangunan Masjid Babah Alun Desari, Paduan Budaya Tionghoa, Arab dan Betawi
Menyandang status sebagai 'bos besar', tak membuat Jusuf melupakan kesederhaaan yang melekat di dalam dirinya.
Dikisahkannya, Jusuf terlahir dari keluarga yang sederhana.
Masih teringat jelas di memorinya, bagaimana dahulu ia harus berjuang melawan kerasnya hidup sejak dirinya kecil.
Perjuangannya di awal kehidupannya, begitu menginspirasi.
Apalagi, kisahnya saat mempelajari agama islam hingga akhirnya bisa menjadi seorang mualaf, patut untuk dijadikan pelajaran.
"Dulu temen saya muslim, cuma saya yang non muslim. Saya pelajarin, apaan sih salat, kok enak juga ya salat tuh. Awalnya penasaran. Tapi dari penasaran jadi kecanduan," cerita Jusuf pada TribunJakarta.com, baru-baru ini.
Ia bercerita, bahwa sebenarnya sudah merasa tertarik untuk belajar Islam sejak lama.
Terlahir dengan nama Alun Joseph, dahulu teman-temannya kebanyakan beragama muslim.
Sehingga ia kerap merasa penasaran saat melihat temannya melaksanakan salat.
Belum lagi, dengan pengalamanya di waktu kecil yang membuatnya kagum akan kemurahan hati umat islam yang ditemuinya.
Singkat cerita, dahulu ia sempat berjualan es mambo di Masjid Istiqlal.
Katanya, ia sering kali menerima sedekah lebihan uang hasil pembelian es mambo dari pembelinya yang kebanyakan jamaah Masjid Istiqlal.
"Dulu saya hidup karena ditolong orang. Dari sedekah orang. Saya jual es mambo, temen saya dulu omzetnya misalnya Rp 100 ribu, saya pulang bisa bawa Rp 130 ribu. Karena apa? orang tuh duit lebihannya 'udah ambil deh' mereka sedekah, kasih infaq ke saya. Gitu,"
"Pembeli saya dulu kebanyakan jamaah Masjid Istiqlal. Saya dagang di Istiqlal, belum jadi mualaf. Itu saya masih (usia) 10 tahun. Saya bilang, kok orang islam baik-baik ya," katanya.
Kecintaannya terhadap Islam terus menerus berlanjut.
Di bulan Maret tahun 1981, akhirnya Alun Joseph memiliki sebuah niat besar untuk menjadi seorang mualaf.
Di Al Azhar Jakarta, ia bertekad untuk menemui seorang ulama besar, Buya Hamka.
Awalnya, ia hanya berniat untuk bercerita akan niatannya masuk islam dan belajar tentang islam.
Tetapi, ia justru dipaksa masuk islam oleh Buya Hamka detik itu juga. Alasannya, karena Buya Hamka takut berdosa.
"Saya bilang, saya mau nanya-nanya. Mau masuk islam. Akhirnya disuruh islam di situ secara langsung. Saya bilang, 'kenapa maksa Buya?',"
"Terus kata dia, bukannya Buya maksa, tetapi kalau kamu pulang, terus kamu meninggal, itu kafir dosanya Buya yang tanggung," kata dia bercerita.
"Oh gitu, yaudah deh Buya. Akhirnya langsung baca syahadat, 'udah kamu islam', udah," tuturnya.
Alasan kenapa Buya Hamka memaksanya untuk masuk islam saat itu juga, karena ia takut akan dosa.
Semisal ada seseorang yang sudah berniat menjadi mualaf, tetapi malah ditunda-tunda dan terlebih dahulu meninggal, ia khawatir akan ikut berdosa.
Oleh sebab itu, Buya Hamka menganjurkan untuk Alun Joseph muslim detik itu juga. Hingga kini akhirnya dikenal dengan nama Jusuf Hamka.
Jusuf Hamka dan Masjid Babah Alun
Kecintaannya terhadap islam, rupanya membawa seorang Jusuf Hamka menemui nasib yang baik.
Siapa sangka, dahulu seorang anak 'jalanan' yang harus berjuang dalam mengarungi kehidupan kini berubah jadi pengusaha kaya raya.
Tak hanya berjualan es mambo waktu kecil, di sekitar tahun 1974, Jusuf juga pernah bekerja untuk sebuah usaha kayu di Samarinda.
Kala itu, ia juga tinggal dan tidur di atas rakit.
Bahkan diceritakannya, untuk makan sarden dan kornet pun terkadang ia tak ada uang.
"Kalau gak punya duit, saya modal sabun saya potong, lalu saya kasih pancingan. Saya lempar pancingannya ke deket jamban. Langsung dimakan, itu namanya ikan jamban. Tapi ya kami lapar, kita makan. Itulah hidup. Tidur bantalnya tas travelling saya, lalu pakai kelambu. Jadi seperti ini pasti ada kerjakeras," tuturnya.
Kejujuran, semangat dan kerja kerasnya bertahun-tahun, membawa seorang Jusuf Hamka pada kesuksesan.
Dalam akun instagramnya, @jusufhamka, ia bercerita di tahun 1986-1989 juga sempat menyambi sebagai seorang sopir traktor pembuat jalan di desa Bukuan, Kecamatan Palaran, pinggir sungai Mahakam dengan gaji Rp 750 ribu per bulan.
"Namun atas dasar kehendak dan dengan gerak Allah SWT, Kunfayakun, si pembuat jalan tersebut saat ini telah dipercaya pemerintah sebagai pengelola Jalan Tol di Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur, alhamdulillah, rezeki anak soleh," tulisnya dalam postingan Minggu, (4/4/2021).
Tak ada yang menyangka, seorang anak 'jalanan' seperti Jusuf kini bisa menjadi seorang pengusaha kaya raya, seorang pemilik jalan Tol swasta.
Jusuf percaya, tak ada yang tidak mungkin bila sang pencipta sudah berkehendak.
"Bahkan, saat ini PT CMNP dipercaya untuk mengerjakan proyek Harbour Road 2 di Jakarta senilai 16 Triliun dan NS Link di Bandung senilai 9 Triliun, totak Rp 25 Triliun," tulisnya.
Empat kunci sukses yang masih terus dipegang Jusuf hingga saat ini.
Diantaranya bekerja keras, jujur, bisa dipercaya, dan bakti pada orangtua. Hal ini, yang seolah-olah menjadi senjata Jusuf memperoleh banyak kebaikan.
Kini, Jusuf juga punya cita-cita untuk membangun 1000 masjid.
Pembangunan ini, merupakan bentuk ikhtiarnya dalam menyebarkan kebaikan agama islam lewat caranya sendiri.
Salah satu masjid yang sudah dibangun, adalah masjid berbangunan unik dengan nuansa oriental, yakni Masjid Babah Alun Desari.
"Saya gak pandai ceramah, saya gak pandai ngaji, tapi buat tempat-tempat wisata religi muslim ini menebarkan syiarnya aja," kata Jusuf.
"Dulu saya dagang di Istiqlal, ditolong orang. makanya sekarang saya kembalikan lagi (kebaikan)," tuturnya.
Masjid Babah Alun Desari, memiliki konsep unik yang tak biasa.
Bangunannya dominan berwarna merah menyala, dengan bentuk atap yang melengkung. Masjid ini menggambarkan budaya khas Tionghoa.
Tampilan ala oriental tersebut juga didukung dengan ornamen-ornamen lainnya seperti pintu, jendela, serta tiang-tiang pilar yang berdiri kokoh.
Menurut Jusuf, arsitektur masjid Babah Alun sendiri memang dibuat dengan akulturasi 3 budaya sebagai simbol keberagaman.
Diantaranya budaya Tionghoa, budaya Arab dan budaya Betawi.
Menariknya, kaligrafi-kaligrafi Asmaul Husna di bagian kubah masjid juga dilengkapi dengan terjemahan bahasa mandarin.
Menurut Jusuf, selain untuk menggambarkan keberagaman, kombinasi kaligrafi dengan tulisan mandarin tersebut sekaligus untuk memudahkan para mualaf keturunan Tionghoa dalam mempelajari Asmaul Husna.
Sebab, pembangunan masjid ini juga sekaligus salah satu bentuk dirinya dalam menyebarkan syiar Islam khususnya pada sesama keturunan Tionghoa.
"Sebenernya ini keberagaman tujuannya. Kita tau banyak sodara kita, Tionghoa yang baru masuk islam dan ingin masuk islam sehingga jadi mualaf. Biasanya mereka orang Tionghoa ngerti bahasa Tionghoa, tapi gak ngerti bahasa Arab. Sehingga mereka bisa baca pengertiannya itu diatas dalam bahasa Tionghoanya ini. Jadi saya ingin keberagaman ini terjadi pada sodara kita yang Tionghoa," kata Jusuf.
"Saya mau sebarkan syiar ke teman-teman keturunan Tionghoa, siapa tau mereka dapat hidayah," imbuhnya.
Masjid Babah Alun Desari sendiri, kata Jusuf dibangun di atas tanah seluas 1000 meter persegi dengan luas bangunan utama masjid sekitar 300 meter persegi.
Pada sisi kanan kiri masjid, ada beberapa fasilitas lain yang disediakan untuk masyarakat.
Diantaranya adalah pojok halal, atau warung UMKM yang menjual makanan dan minuman.
Adapula balai rakyat pada lantai atas sisi kiri masjid yang bisa dipergunakan oleh masyarakat secara gratis.
"Misalnya untuk acara akad nikah, sunatan, pengajian, silahkan. Untuk umat beragama lain juga boleh pake, bukan islam boleh pake asalkan dijaga. Jangan pakai musik hingar bingar, dan kalau ada ritual umat islam pas lagi jam solat, jangan berisik. Terus juga makanan dan minumannya harus terjamin halal, supaya kita bisa saling menghormati," imbuhnya.
Sementara di bagian bawah balai rakyat, merupakan tempat wudhu sekaligus toilet.
Selain sebagai tempat ibadah, Masjid Babah Alun Desari ini, juga menjadi salah satu destinasi wisata religi di Jakarta Selatan yang bisa dikunjungi.
Tepatnya berada di Jalan Mandala II Bawah No.100, RT.4/RW.2, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan.