Dusun Gadingan Luluh Lantak jadi Padang Lava
Hamparan debu vulkanik merata di hampir seluruh area tanah di wilayah ini. Debu pekat menempel di semua permukaan di Dusun Gadingan
Editor: Tjatur Wisanggeni
TRIBUNNEWS.COM SLEMAN -- Hamparan debu vulkanik merata di hampir seluruh area tanah di wilayah ini. Debu pekat menempel di semua permukaan di Dusun Gadingan, Desa Argomulyo, Kecamatan Cangkringan Sleman. Bagaikan hamparan padang pasir seusai dihantam badai pasar besar.
Debu vulkanik dan aroma belerang masih sangat tajam terasa di hidung ketika Tribunnews mencoba menelusuri dusun yang hanya berpenduduk 60 kepala keluarga dengan berprofesi sebagai petani tersebut.
Tampak dii kejauhan terlihat dengan sangat jelas Gunung Merapi yang masih berdiri perkasa dan masih mengeluarkan asap coklat keabu-abuan yang berselimuti dengan awan, terus berarak di antara pohon-pohon sejenis mahoni dan kepala manusia yang terlihat sudah berubah coklat keemasan warnanya.
Tiada kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi terakhir dusun ini, usai dihantam lahar panas yang lebih dikenal wedhus gembel dan lahar pijar ini. Mereka menyapu apa saja sebelum menuju aliran Kali Gendol yang hanya berjarak sekitar 3-4 meter dari sisi sungai.
Tampak papan yang terpasang di pintu masuk desa dengan rapi dan kuat, meski bahannya dibuat dari sisa-sisa bagian bangunan yang sudah gosong. Beberapa relawan dan petugas sudah sejak pagi berdiri mengawasi dan menghalau warga yang mencoba masuk ke lokasi tersebut guna melakukan perjalanan ”wisata” di lokasi yang masih dianggap sangat berbahaya tersebut.
Bersama bersama seorang warga setempat yang juga menjadi pemandu, memandu Tribunnews ke lokasi yang menjadi kampung mati tersebut.
Baru masuk sudut dusun, terlihat jelas sebuah tugu desa setinggi satu meter yang masih terselimuti debu vulkanik dengan tulisan yang begitu jelas terbaca “Dusun Gadingan, Desa Argomulyo”. Di seberangnuya, masih tampak asap putih masih mengepul dari sisa-sisa bangunan rumah berserakan tidak beraturan dan beberapa pohon tampak tumbang.
“Dulu ini rumahnya Pak Tris, pemilik penggilingan padi ,” ucap Warsito pemandu Tribunnews.
Saya pun menoleh ke arah yang dia tunjukkan. Nampak rumah petak yang berukuran 12 x 10 meter persegi berlantai dua sudah hancur lebur. Beberapa, bagian sudut rumah sudah nyaris tidak terbentuk lagi. Hanya menyisakan onggokan tiang-tiang bekas pilar yang masih terlihat kokoh dan nyaris hampir sama warnanya dengan tanah.
Begitu, kami mencoba melongok ke dalam rumah, tampak rongsokan tiga sepeda motor yang masih terparkir rapi di dalam rumah. Melihat, bentuknya tinggal rangka dan sudah berubah bentuk sehingga sulit sekali dikenali jenis dan merk kendaraan tersebut.
”Kemarin kita sudah mengevakuasi di rumah ini kemarin, kami telah menemukan tujuh jenasah dari warga di dusun tersebut,” jelas Kopling, seorang relawan dari Orari yang kebetulan melintas dengan menggunakan motor trillnya guna melakukan pemetaan sekaligus pemantauan aliran lahar.
Kopling juga menjelaskan bahwa diperkirakan di dusun tersebut masih banyak korban meninggal dan belum diketahui keberadaannya karena banyak warga yang terjebak, saat wehus gembel menyerang dusun ini.
”Mungkin jika kondisinya masih memungkinkan untuk evakuasi, kita akan mencoba kembali ke sini lagi,” jelas Kopling.
Warga setempat, Sutantyo yang kebetulan juga melihat kondisi terakhir dusunnya, mengaku masih banyak warga penduduk di dusun ini yang terjebak.