Oce Madril: Semoga RUU Aparatur Sipil Negara Lindungi Birokrat
Tindak pidana korupsi yang dilakukan kepala daerah sering kali menyeret pejabat daerah.
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tindak pidana korupsi yang dilakukan kepala daerah sering kali menyeret pejabat daerah seperti kepala dinas, dan jajaran pegawai negeri sipil (PNS) di bawahnya.
Hingga kini, tercatat sekitar 291 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, sementara terdapat 1.221 pegawai negeri sipil (PNS) yang turut terseret kasus-kasus korupsi yang dilakukan atasannya.
Sebagai bagian dari birokrat yang bersifat struktural, para PNS tak dapat menolak perintah kepala daerah untuk memuluskan praktik korupsi. Apalagi, sejauh ini belum ada aturan tegas yang melindungi para PNS yang mangkir dari perintah yang terindikasi melanggar hukum.
Hal itu diperparah dengan budaya birokrat di Indonesia yang justru mengucilkan PNS yang berupaya membongkar kebobrokan institusinya.
Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Oce Madril mengaakan untuk meminimalisir PNS atau pejabat daerah terseret tindak korupsi, teorinya dengan menolak perintah atasan untuk melakukan korupsi, tapi di lapangan yang terjadi tidak seperti itu.
"Justru bawahan yang menolak biasanya harus menghadapi resiko dijauhi, dimutasi dan lainnya. Praktek birokrasi repot, sulit dibayangkan bawahan menolak perintah atasan. Ini realitasnya. Sudah tersistem demikian," ungkap Oce Madril, Senin (13/5/2013).
Oce mengharapkan akan ada sebuah sistem hukum yang melindungi pejabat daerah atau PNS yang tidak taat dengan instruksi kepala daerah yang terindikasi merupakan tindak korupsi. Sejauh ini, kata Oce perlindungan tersebut hanya mengandalkan whistle blower sistem yang ada di KPK.
"Semoga RUU aparatur sipil negara ada perlindungan kepada birokrat, agar indepensinya terjaga. Ada instrumen-instrumen hukum yang melindungi mereka," tuturnya.
Diakui Oce, praktik korupsi yang melibatkan kepala daerah dan bawahannya sudah lama terjadi. Jumlahnya semakin meningkat paska reformasi dan otonomi daerah. Hal ini, karena, otonomi memberikan kekuasaan dan kewenangan lebih besar kepada kepala daerah yang tidak diimbangi pengawasan yang ketat.
Untuk mencegah semakin meningkatnya praktik korupsi kepala daerah, dapat dilakukan dengan memperketat pengawasan administrasi keuangan daerah, serta menekan cost pilkada yang tinggi.
"Perbaiki pengaturan dana kampanye agar tidak high cost," selorohnya.
Seperti halnya Oce, Sekretaris Jenderal Jaringan Aktifis Pro Demokrasi (Sekjen Prodem), Andrianto menjelaskan bahwa dengan sistem pemilihan langsung kepala daerah akan menghasilkan pemimpin yang ingin membangun daerah dan membangkitkan ekonomi daerah. Namun, Pilkada yang membutuhkan biaya yang luar biasa besar membuat kepala-kepala daerah berupaya mengembalikan modalnya.
"Ini yang membuka ruang praktik KKN. Harus ada regulasi jelas mengatur batasan-batasan kampanye di dalam pilkada, terutama pembiayaan. Harus ada auditor profesional sehingga tidak terjadi penyimpangan, dan aturan hukum yang ketat," paparnya.
Andrianto mengakui, tidak mungkin korupsi yang dilakukan PNS atau kepala dinas tanpa sepengetahuan kepala daerah, atau justru tindak korupsi itu dilakukan atas perintah atasannya.
"Seperti kasus korupsi PON Riau misalnya," tuturnya.