Warga Pulau Bunaken Masak Air Hujan untuk Minum
sekitar 6.000 jiwa penghuni pulau tersebut masih bergumul dengan kebutuhan vital yaitu krisis air bersih
Laporan Wartawan Tribun Manado, Riyo Noor
TRIBUNNEWS.COM, BUNAKEN - Siapa tidak kenal Taman Laut Bunaken, objek wisata andalan Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) itu sudah mendunia sebagai surganya wisata bawah air. Namun siapa sangka, sekitar 6.000 jiwa penghuni pulau tersebut masih bergumul dengan kebutuhan vital yaitu krisis air bersih.
Sejak dahulu kala untuk minum dan memasak makanan, air didatangkan warga pulau Bunaken dari kota Manado dengan biaya selangit. Walaupun di pulau tersebut memiliki sumber air, namun sebagian besar mengandung garam atau lazim disebut warga Bunaken air slobar.
Sulitnya air bersih pun menuntut warga pulau Bunaken menampung air hujan untuk cadangan kebutuhan sehari-hari.
Tak heran hampir setiap rumah, warga selalu meletakkan tampungan di bawah pancuran atap rumah. Yemima Julian (51), warga Kelurahan Bunaken, Kecamatan Bunaken Kepulauan mengatakan, untuk memenuhi air keperluan sehari-hari ia mengandalkan curah hujan.
Tiap kali hujan, Julian tak pernah absen menampung air. Bahkan saat larut malam ia bangun menampung air hujan demi memenuhi ember dan tempayan.
"Biar tengah malam, kalau hujan turun, tetap harus tampung air," kata Julian kepada Tribun Manado di Pulau Bunaken.
Julian merasa beruntung beberapa hari belakangan curah hujan sedang tinggi sehingga cadangan airnya bisa bertahan agak lama.
"Kami punya tampungan empat jeriken dan satu ember besar. Kalau tampung air setidaknya bisa simpan uang sedikit," tuturnya.
Menurut dia, air hujan yang ditampung lazimnya digunakan untuk masak. Untuk MCK cukup menggunakan air slobar yang terasa asin. Sedangkan untuk minum terpaksa beli air isi ulang yang disuplai dari wilayah daratan Manado. Biasanya hampir tiap hari perahu taksi membawa kebutuhan air minum. Air mineral isi ulang satu jeriken dijual Rp 12 ribu. Harga Rp 20 ribu yang masih bersegel.
Apakah keluarga Julian pernah minum air hujan? Dia tidak menampik kenyataan itu.
"Kalau lagi kepepet tak punya uang karena hasil laut lagi kurang, air hujan dimasak untuk dipakai minum," kata Julian. Keluarga kecil Yemima terdiri dari empat orang. Dalam seminggu hanya untuk air minum Julian harus mengeluarkan kocek Rp 24 ribu untuk dua jeriken.
Diakuinya, biasanya krisis air saat musim panas terjadi di pertengahan tahun. Kalau tak ada hujan, ia harus mengeluarkan uang membeli air untuk masak. Air dipasok dari mata air Pangalisang, sekitar 3 kilometer jauhnya dari kampung. Untuk mendapatkan satu jeriken Julian keluarkan uang Rp 1.000.
"Seminggu butuh lima jeriken," kata dia.
Kesulitan air bersih pun dirasakan pengelola cottage di wilayah Liang, Pulau Bunaken. Sudah bertahun-tahun sejak usaha pariwisata di Bunaken berkembang, tak pernah tersentuh pelayanan air bersih yang memadai.
Ana, pengelola salah satu cottage di sana mengandalkan sumur di belakang rumahnya, namun karena mengandung air asin, tepaksa hanya dimanfaatkan untuk MCK. Sumur sudah terhubung dengan jaringan pipa ke kamar-kamar cottage menggunakan mesin pompa. Meski harus menggunakan air slobar setidaknya masalah kebutuhan MCK teratasi.
Untuk minum, kata Ana, sudah pasti harus dipasok dari Manado. Dia tinggal membelinya di warung. Kalau lagi ramai tamu, dua atau tiga jeriken habis untuk seminggu, kalau sepi satu jeriken cukup.
Untuk air memasak, lanjutnya biasanya dibeli per jeriken. Seminggu bisa menghabiskan 10 jeriken. Satu jeriken Rp 1.000 "Dibeli dari warga yang punya sumur air tawar," katanya. Karena berada di pesisir pantai, untuk mengangkut kebutuhan air dilakukan lewat laut dengan perahu.