Enam Tahun Berjuang, Nasib Masyarakat Adat Pulau-Pulau Rempang Galang Digantung
Himpunan Masyarakat Adat Pulau-Pulau Rempang Galang (Himad Purelang) benar-benar menggantungkan nasibnya kepada Kepala
Penulis: Rachmat Hidayat
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Himpunan Masyarakat Adat Pulau-Pulau Rempang Galang (Himad Purelang) benar-benar menggantungkan nasibnya kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Hendarman Supandji agar bisa menerbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanah yang sudah digarapnya berpuluh-puluh tahun.
"Himad Purelang telah diputuskan didalam Rapat Dengar Pendapat Komisi (RDP) II DPR RI untuk diprioritaskan penyelesaiannya lalu kemudian kasus konflik yang mereka alami ditangani BPN berdasar Surat Keputusan Kepala BPN RI nomor 227/KEP-25.2/IV/2013 tanggal 4 April 2013 tentang Pembentukan Tim Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan Yang Berpotensi Konflik Strategis," ujar Ketua Umum Himad Purelang, Blasius Joseph, Selasa (17/12/2013).
Ia mengatakan, jika dia sudah teramat lama menunggu agar BPN bisa menyelesaikannya kasus konflik yang sudah mereka laporkan sejak 2008.
"Kami sudah bolak-balik sekitar 40an kali Batam-Jakarta selama enam tahun. Syukurlah akhirnya Panitia Kerja Penuntasan Konflik Pertanahan Komisi II DPR RI memperhatikan keluhan kami," tutur pria uzur berusia 76 tahun tersebut.
"Walau di kantor BPN Pusat dan BPN Kota Batam kami selalu diping-pong, tetapi kami tetap sabar. Karena tim kajian hukum Himad Purelang sudah jauh hari memikirkannya dari segala sisi," ujar mantan guru sekolah dasar itu.
"Sayangnya, Tim 13 didalam SK Kepala BPN terlihat tidak mau sesuai Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dengan cepat untuk menuntaskannya. Sepertinya, ada kepentingan lain di luar aturan UUPA yang membuat mereka memperlambatnya," tambahnya.
Menurut Blasius, sebelumnya surat mereka sudah ditanggapi dengan baik oleh Kedutaan Besar Vietnam tahun 2010 karena bersumbangsih saat pengungsi Vietnam ditempatkan di Pulau Galang. Terakhir pihaknya diminta ke Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan alasan bahwa BPN adalah institusi yang bersifat koordinatif.
"Itu kami turuti, tutur Blasius. Walau Kementerian Kelautan dan Perikanan sudah mengeluarkan pendapatnya atas keberadaan kami, tetapi masih saja Tim 13 itu tertutup dan selalu berkilah tanpa dasar sesuai UUPA," tambahnya.
Blasius mengatakan, masyarakat terus menderita jika mengalami konflik pertanahan. Ternyata oknum-oknum BPN itu yang sengaja membuat masalah.
"Enam tahun sudah kami mengurus kasus konflik tanah Rempang Galang melawan Otorita Batam sampai sekarang mereka ganti baju menjadi BP Batam. Kami semakin yakin bahwa berdasar bocoran dari Tim 13 terbukti bahwa Otorita Batam sesungguhnya tidak memiliki hubungan hukum terhadap lahan yang kami daftarkan itu," ungkapnya.
Tetapi karena sangat banyak oknum dibawah Kepala BPN sejak 2008 membuat dan memelihara masalah pertanahan, maka penyelesaiannya menjadi bertele-tele.
"Kami telusuri mengapa bisa terjadi, ternyata itu menjadi sesuatu yang 'wajar' bagi oknum-oknum BPN RI sebab Kepala BPN RI Joyo Winoto dan Sekretaris Utamanya Managam Manurung terbukti di Pengadilan Tipikor ada menerima uang dalam kaitan penerbitan sertifikat lahan Hambalang. Itu menurut kami yang membuat oknum itu merasa tidak bersalah," kata pria kelahiran Flores tersebut.
Himad Purelang berharap, agar Hendarman Supandji yang menggantikan Joyo Winoto secepatnya mengeluarkan SK kepada BPN Kota Batam agar segera menerbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas permohonan kami sebab hal itu sudah memenuhi persyaratan UUPA.
"Agar jangan sampai perilaku Joyo Winoto tertular kepada Hendarman Supandji. Seharusnya Tim 13 tidak perlu lagi berkelit-kelit untuk memproses pendaftaran yang sudah kami lakukan ke BPN RI," ujarnya.