Kepemimpinan Otoriter Picu Kerusuhan Lapas
Rangkaian kerusuhan tersebut menjadi indikasi bahwa perbaikan pengelolaan Lapas di Indonesia harus segera dilakukan
Penulis: Bahri Kurniawan
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, PALOPO - Rusuh di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas IIA Palopo, Sulawesi Selatan, Sabtu (14/12/2013) lalu, memperpanjang daftar insiden yang terjadi di Lapas Indonesia.
Setidaknya ada tiga kerusuhan lain tahun ini yang sudah terjadi yaitu, kerusuhan Lapas Tanjung Gusta, Medan, Sumatera Utara pada 11 Juli 2013, Lapas Labuhan Ruku, Sumatera Utara pada 18 Agustus 2013, dan Lapas Klas II B Sintang, Kalimantan Barat pada 25 September 2013.
Rangkaian kerusuhan tersebut menjadi indikasi bahwa perbaikan pengelolaan Lapas di Indonesia harus segera dilakukan. Dari Palopo, politisi Sulawesi Selatan, Saldy Mansyur menilai bahwa kerusuhan di Lapas Palopo menandakan pemerintah sudah tidak mampu melakukan pembinaan yang baik terhadap tahanan. Menurutnya, tujuan Lapas untuk membina penghuninya menjadi lebih baik, justru telah gagal.
"Kalau terjadi kerusuhan yang demikian kan pasti ada yang salah. Pembinaan yang manusiawi diperlukan terhadap para tahanan, petugas Lapas harus dibenahi cara pembinaannya," ujar Saldy Mansyur di Palopo, Selasa (17/12/2013).
Sementara itu, kriminolog dari Universitas Indonesia DR Arthur Josias Simon Ruturambi mengatakan bahwa kerusuhan di Lapas terjadi bukan karena tidak ada upaya pencegahan yang signifikan, tetapi pencegahan tersebut sifatnya temporal saja.
"Perlu diingat, kerusuhan tidak terjadi secara spontan tapi akibat terakumulasinya persoalan-persoalan yang ada di Lapas," ujarnya, Selasa (17/12/2013).
Menurut Josias yang telah menuliskan beberapa buku mengenai persoalan Lapas di Indonesia antara lain: Studi Kebudayaan Lapas Indonesia dan Budaya Penjara ini, ada tiga faktor yang menjadi pemicu pecahnya kerusuhan di beberapa Lapas di Indonesia.
Ketiga faktor antara lain, soal Kebijakan. Meliputi kebijakan pusat, Peraturan Pemerintah nomor 99 tahun 2012 yang membuat narapidana sulit mendapatkan remisi. Selain itu, kebijakan lokal pimpinan Lapas dengan manajemen yang tidak transparan, satu arah, dan kepemimpinan yang otoriter.
Kemudian persoalan sosiologis dalam Lapas. Meliputi interaksi, komunikasi, dan kultur yang beragam dan bervariasi. Dan yang terakhir adalah struktur Lapas, dengan kondisi bangunan, sarana dan prasarana, dan fasilitas Lapas yang kurang memadai.