Lampung Urutan Kedua Tertinggi Kasus Gangguan Pendengaran
Provinsi Lampung menduduki urutan kedua sebagai daerah yang penduduknya mengalami gangguan pendengaran terbanyak
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, LAMPUNG - Provinsi Lampung menduduki urutan kedua sebagai daerah yang penduduknya mengalami gangguan pendengaran terbanyak.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdes) 2013 Kementerian Kesehatan, angka prevalensi gangguan pendengaran penduduk Lampung berusia lebih dari lima tahun mencapai 3,6. Angka prevalensi Lampung ini hanya terpaut tipis dari Nusa Tenggara Timur (NTT), yakni 3,7. Angka prevalensi Lampung dan NTT di atas angka nasional yang hanya 2,6.
Angka prevalensi merupakan persentase dari seluruh kasus yang terjadi lebih dari lima tahun dibagi dengan total populasi. Menariknya, Riskesda 2013 ini juga mencatat bahwa Lampung merupakan provinsi keenam dengan angka prevalensi kebutaan penduduk terbesar. Angka prevalensinya sebesar 0,6.
Di Pulau Sumatera, Lampung berada di posisi kedua setelah Bangka Belitung yang mempunyai angka prevalensi 0,7. Sedangkan, urutan angka prevalensi kebutaan tertinggi secara berturut-turut adalah Gorontalo (1,1), Nusa Tenggara Timur (1), Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan (0,8). Adapun, angka prevalensi kebutaan secara nasional sebesar 0,4.
Direktur Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin dr T Marwan Nusri menjelaskan, tingginya kasus buta tuli di Lampung bisa terjadi karena banyak faktor. Selain faktor kurang gizi pada masa balita, penyakit buta tuli bisa timbul karena polusi yang disebabkan asap industri, kendaraan bermotor, serta gangguan infeksi.
Polusi air dan udara yang terjadi pada kegiatan pertanian yang banyak menggunakan bahan kimia, seperti persitida, juga dapat memberi dampak negatif pada kesehatan. Sehingga menjadi faktor pemicu kebutaan dan ketulian.
Sebagai daerah agrobisnis, pencemaran air dan udara yang disebabkan penggunaan bahan kimia di lahan-lahan pertanian di Lampung, berpotensi menyebabkan penyakit buta tuli, terutama di wilayah pedesaan.
"Lampung kan termasuk wilayah agrobisnis, saya kira pencemaran pestisida bisa menjadi salah satu faktor yang menyebabkan penyakit buta tuli, misalnya air yang tercemar mengenai mata. Paparan sinar matahari yang kuat dan berlebihan juga bisa menyebabkan kebutaan," kata Marwan.
Meski demikian, faktor genetik dan bawaan lahir juga bisa mempengaruhi seseorang mengalami penyakit buta dan tuli.
"Berbagai hal tersebut bisa menjadi faktor penyebab buta tuli. Hanya saja kita perlu mengkaji secara lebih mendalam untuk kasus di Lampung, faktor apa yang paling dominan," imbuhnya.
Dijelaskan Marwan, balita yang menderita kurang gizi memiliki risiko lebih tinggi terserang penyakit dibanding balita yang tidak kekurangan gizi.
"Terutama untuk konsumsi vitamin A, protein dan yodium, kita masih kurang. Banyak balita yang kurang gizi karena asupan zat-zat itu tidak tercukupi," kata Marwan.
Mantan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati ini mengungkapkan, tingginya kasus kebutaan di Lampung pada 2013 bisa dipengaruhi faktor kekurangan gizi semasa balita, terutama untuk asupan vitamin A.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, angka proporsi gizi kurang di Bumi Ruwa Jurai pada 2013 tergolong tinggi. Proporsi gizi kurang pada balita adalah persentase jumlah balita yang berat badan menurut umurnya lebih kecil dari -2 SD standar WHO 2005 dari jumlah balita yang diukur.
Secara nasional, balita gizi kurang di Lampung pada 2013 menempati urutan ke-13 dari 33 provinsi, yakni mencapai sekitar 19 persen. Angka tersebut mengalami kenaikan dibanding 2010 yang tercatat pada kisaran 14 persen, dan pada 2007 tercatat sekitar 18 persen.