Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kisah Sepasang Pengantin Pendobrak Diskriminasi Tionghoa

Suasana Imlek cukup terasa di Surabaya, sejak dua pekan lalu.

zoom-in Kisah Sepasang Pengantin Pendobrak Diskriminasi Tionghoa
Tribun Jateng/Wahyu Sulistiyawan
Pasar Imlek Semawis: Komunitas Tri Suci memaikan barongsai dan liong pada pembukaan Pasar Imlek Semawis, di Kawasan Pecinan, Kota Semarang, Jateng, Senin (27/1/2014). Cuaca cerah dimanfaatkan warga kota Semarang untuk mengunjungi pesta rakyat yang diselenggarakan hingga Rabu (29/1/2014) pada jelang perayaan Imlek ini merupakan agenda tahunan. (Tribun Jateng/Wahyu Sulistiyawan) 

TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Suasana Imlek cukup terasa di Surabaya, sejak dua pekan lalu.  Lampion dan ucapan selamat Imlek menghiasi rumah, perkantoran, hotel, dan pusat-pusat perbelanjaan.

Perayaan hari besar masyarakat Tionghoa ini mencapai puncaknya, Jumat (31/1/2014) besok. Inilah Tahun Baru China.

Pemerintah menandai penanggalan hari Imlek dengan warna merah. Artinya, libur nasional,  sama dengan libur nasional untuk Tahun Baru Masehi dan Tahun Baru Hijriah (Islam).

Bedanya tanggal merah untuk Imlek baru muncul sebelas tahun lalu. Tepatnya sejak ditetapkan pemerintah sebagai libur nasional pada 2003. Sedang Tahun Baru Masehi dan Hijriah sudah muncul jauh sebelumnya.

Bagi  masyarakat Tionghoa, perubahan warna penanggalan ini merupakan  perubahan zaman; era warga Tionghoa bebas dari kungkungan. Sebuah perubahan, masyarakat Tionghoa boleh mempertontonkan tradisi yang sejak 1967 dilarang  pemerintah Orde Baru.

Tapi, perubahan itu bukan terjadi secara alamiah. Sejarah mencatat, sejumlah tokoh dan kelompok menjadi mentor perubahan lewat letupan-letupan gerakan melawan diskriminasi.

Nama pasangan Budi  Wijaya (50) dan Lanny Guito (42), layak disebut sebagai pendobrak diskriminasi terhadap etnis Tionghoa yang dilakukan rezim Orde Baru. Pasangan suami istri warga Surabaya ini, menjadi warga Tionghoa pertama yang melakukan perlawanan.

Berita Rekomendasi

Itu terjadi pada 1996, ketika negara  melarang keras segala atribut dan tradisi Tionghoa ditampilkan.

Budi Wijaya kala itu menikah secara agama Khonghucu. Pernikahannya ditolak Kantor Catatan Sipil Surabaya. Dengan bantuan Klenteng Boen Bio, tempatnya menikah, ia melawan. Perlawanan berlangsung di jalur hukum berlangsung sengit.  

Tekanan dan intervensi berlangsung kuat, namun perlawanan Budy tak pernah surut. Ketua Klenteng Boen Bio Surabaya, Gatot Seger Santoso (65) menyebut perlawanan Budy-Lanny inilah sebagai tonggak perlawanan pemeluk Khonghucu.

"Kasus perkawinan Budi dan Lanny merupakan tonggak  kebebasan bagi para pemeluk Khonghucu di Indonesia untuk merayakan Imlek secara terbuka," kata Gatot.

Tentu Budi tidak sendiri. Masih ada deretan tokoh lain. Di antaranya Bingky Irawan, ketua Boen Bio waktu itu. Dialah yang mendampingi dan mengawal Budi.

Termasuk membawanya ke Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) di Jakarta. Dari MATAKIN inilah, perkara itu sampai telinga KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Gus Dur yang waktu itu menjadi Ketua Umum PBNU dengan lantang membela. Tanpa diminta, ia menyediakan diri menjadi saksi, membela pasangan Budy-Lanny di pengadilan. Skala perlawanan pun naik ke tingkat nasional.

Halaman
12
Sumber: Surya
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas