Pakar Hukum UI: Kasus PLN Tidak Layak Masuk Pengadilan
”Momentum pergantian rezim nanti waktu yang tepat untuk kembali menyekolahkan para penegak hukum saat ini,” ujar Dian.
TRIBUNNEWS.COM,MEDAN - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan, hari ini (28/5) mengagendakan sidang lanjutan kasus tuduhan korupsi dalam proyek pekerjaan life time extention (LTE) Gas Turbin (GT) 2.1 dan 2.2 Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Blok II Belawan, Medan.
Pakar Hukum Universitas Indonesia Dr Dian Simatupang menegaskan, perkara tuduhan korupsi di proyek LTE PLN ini tidak layak masuk pengadilan.
“Kasus PLN ini tidak berbeda dengan kasus – kasus sebelumnya terkait kriminalisasi perusahaan seperti yang menerpa IM2 maupun Chevron. Apa yang dialami PLN ini sama persis dengan perusahaan yang lainnya, saya pikir sudah saatnya kasus tuduhan korupsi ini dihentikan,” kata Dian, kepada wartawan, Rabu (28/5/2014).
Menurut Dian, dalam kasus PLN tidak ada unsur kerugian negara.
Dalam hal proyek peremajaan PLTGU Belawan ini tidak ada uang negara dalam APBN yang digunakan.
Namun dana yang dipakai dalam proyek tersebut murni menggunakan anggaran dari PLN.
”Kalau memang ada kerugian negara atau negara merasa dirugikan, harusnya tanyakan saja kepada Menteri Keuangan, seberapa banyak keuangan negara dirugikan dalam proyek ini,” imbuh Dian.
Menurut ahli hukum keturunan Sumatera Utara tersebut, apa yang dialami PLN ini merupakan kelanjutan bentuk pendzoliman yang dilakukan oknum Kejaksaan.
Akibat ulah oknum-oknum kejaksaan, turut menyebabkan sistem hukum yang ada saat ini sudah melenceng, sehingga diperlukan reformasi hukum yang menyeluruh.
”Momentum pergantian rezim nanti waktu yang tepat untuk kembali menyekolahkan para penegak hukum saat ini,” ujar Dian.
Sebagai catatan, sidang hari Rabu (28/5) mengagendakan sidang ketiga terdakwa, masing-masing Rodi Cahyawan, Surya Dharma Sinaga, keduanya tenaga ahli PLN, dan Dirut PT Mapna Indonesia M. Bahalwan.
Sebelumnya, Ketua Tim Kuasa Hukum PT PLN Todung Mulya Lubis menyayangkan sejumlah tenaga ahli di PLN dijadikan terdakwa dengan tuduhan merugikan keuangan negara.
Menurutnya, tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan dalam proyek tersebut dan semuanya telah sesuai prosedur yang ada di PLN.
"Saya mencurigai penuntut umum (jaksa) tidak mempunyai pemahaman yang cukup jelas mengenai kronologi, fakta-fakta dan aplikasi hukumnya. Namun, justru itu yang dituliskan dalam dakwaan," katanya.
Todung mengatakan, kerugian negara yang dituduhkan oleh jaksa mencapai Rp2,3 triliun tersebut, merupakan fantasi jaksa.
Angka itu kemungkinan disimpulkan jaksa dari pembayaran yang telah dilakukan kepada Mapna Co sebesar Rp300 miliar lebih, ditambah potensi pendapatan sebesar Rp2 triliun dari pengoperasian pembangkit tersebut.
"Kita pun tidak tahu apa logika matematika jaksa sehingga menyimpulkan kerugian negara sampai Rp2,3 triliun. PLN justru menyumbangkan pendapatan ke negara dengan penghematan yang dilakukan," ujarnya.
Menurut Todung, dalam pekerjaan LTE, PLN justru berhasil melakukan penghematan.
Alasannya, realisasi nilai kontrak justru jauh lebih kecil dari HPS kontrak awal.
Pada HPS kontrak awal dengan pemenang tender Mapna Co, tertulis sebesar Rp 645 miliar, sementara harga yang tertuang dalam kontrak hanya Rp 431 miliar.
“Dengan nilai kontrak sebesar Rp 431 miliar, justru PLN berhasil melakukan saving sebesar Rp 214 miliar (RAB Rp 645 miliar dibandingkan nilai kontrak Rp 431 miliar), sehingga tuduhan kerugian negara tidak terbukti. Karena itulah, dasar penahanan para tenaga ahli PLN tidak berdasar,” kata Todung.