Kedokteran Tak Jadi Favorit, Kalah Dengan Jurusan Bisnis dan Ekonomi
“Di sini (Jepang) kedokteran bukan jurusan favorit anak muda,” imbuhnya.
TRIBUNNEWS.COM,SURABAYA - Satu lagi catatan Dian, fakultas kedokteran di Jepang itu, besaran biayanya sama dengan rata-rata fakultas atau juruan lain.
Tidak ada pembedaan, apalagi sampai mencolok seperti di Tanah Air.
“Di sini (Jepang) kedokteran bukan jurusan favorit anak muda,” imbuhnya.
Jurusan favorit di kalangan anak muda Jepang antara lain robotik, bisnis dan ekonomi, serta studi internasional. Itupun biayanya tidak beda.
Satu hal yang membuat kuliah di Jepang terjangkau semua kalangan, adalah karena life supporting system-nya terintegrasi.
Life support system ini berupa jadwal kuliah, eksperimen, dan studi yang memungkinkan mahasiswa dapat bekerja sambilan atau arubaito sehingga membantu biaya hidup dan kuliah.
“Belum lagi banyak skema beasiswa yang ditawarkan bagi mahasiswa. Serta ada banyak riset dan study loan yang bisa diikuti di sana," katanya.
“Saya sendiri mengajukan beasiswa untuk studi S3 di Jepang karena nggak sanggup biayai sendiri,” tambah alumnus S2 Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.
Kemudahan bagi mahasiswa juga dirasakan di berbagai kebutuhan hidup, seperti tempat tinggal.
Mahasiswa yang kuliah dengan biaya sendiri, bakal memperoleh potongan separo harga sewa apartemen, begitu juga tiket kereta api.
Perbedaan paling mencolok dengan perkuliahan di Indonesia adalah proses bimbingan.
Di Jepang, mahasiswa S3 langsung bekerja di bawah seorang profesor pengampu dan satu profesor lainnya. Dan risetnya harus sesuai tema riset di profesor.
Maka, ketika melamar menjadi mahasiswa S3, Dian benar-benar mencari profesor yang cocok dengan tema riset yang ingin dilakukannya.
Keputusan lulus atau tidaknya seorang mahasiswa pun berada di tangan profesor pengampu.
Jika profesor menyetujui, maka mahasiswa baru dapat ujian disertasi yang biasanya hanya untuk formalitas saja.
Ujian disertasi yang sesungguhnya adalah saat mahasiswa menjawab pertanyaan dari para reviewer ketika mengajukan paper hasil penelitiannya tersebut.
Mahasiswa akan beruntung bila mendapatkan profesor yang sangat pandai sehingga mereka dapat mempublikasikan paper ke jurnal-jurnal yang berpengaruh tinggi. Tetapi, ada juga profesor yang biasa-biasa saja.
Semua tergantung bagaimana pintar-pintarnya mahasiswa memilih profesor dan mencari informasi tentang keseharian profesor tersebut.
Sebelum ke Jepang, Dian sempat PTT di Enarotali, Papua selama 2,5 tahun dan bekerja sama dengan seorang profesor dari UGM saat menangani wabah meningitis di sana.
Profesor itu senang dengan kinerja Dian dan menawari untuk segera ambil spesialis di UGM.
Saat itu, Dian belum siap karena harus mempersiapkan tabungan agak banyak terlebih dulu.
“Sekolah spesialis di Indonesia kan harus membayar sendiri dan tidak boleh praktik selama sekolah, sekitar empat tahun lebih,” tutur Dian.
Ini berbeda dengan Jepang. Sekolah spesialis di Jepang memang mengharuskan mahasiswa membayar SPP, tetapi juga dibayar secara profesional dengan melakukan pelayanan.
Bayarannya pun lumayan dan Dian selama sekolah S3 ini lolos ujian izin praktik kategori 2, setara dengan co-ass.
Dia juga mendapatkan izin praktik terbatas sehingga berkesempatan ikut dinas malam di RS anak berkebutuhan khusus di Toyonaka, Osaka.
“Lumayan untuk memenuhi kebutuhan hidup,” tuturnya. (ida/idl/ben)