Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

News Analysis : Memang Harus "ISIS"

Ada pengajian yang dianggap aneh, sudah langsung dituduh bagian dari ISIS. Ada masjid yang dilihat tidak wajar, sudah dicap ISIS.

zoom-in News Analysis : Memang Harus
AHMAD AL-RUBAYE / AFP
PBB memperkirakan sekitar 20.000 hingga 30.000 warga etnis Yazidi masih terjebak di Gunung Sinjar setelah melarikan diri dari kejaran ISIS. 

News Analysis
Miftah Faridl
Jurnalis Harian Surya

TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Satu bulan ini, masyarakat Indonesia diberi tiga pilihan topik berita besar.

Pertama, terkait gugatan Pilpres di Mahkamah Konstitusi. Lalu Sepak terjang ISIS dan masalah ganguan bipolar mantan artis cilik Marshanda. Tidak ada pilihan lain.

Mungkin ISIS-lah menurut saya seksi untuk diulas setiap hari. Menggelitik.

Itulah kata pertama yang saya ucapkan untuk menggambarkan semua hiruk pikuk, baik pemberitaan maupun perilaku pejabat menyikapi ISIS.

Gerakan perlawanan di Suriah dan Irak ini menjadi penyebab penyakit baru di Indonesia, yakni latah.

Bayangkan saja, ISIS dibahas mulai dari tingkat RT sampai presiden. Mulai dari masyarakat sipil sampai tentara.

Berita Rekomendasi

Semuanya sepakat, ISIS dan ajarannya dilarang ada di Bumi Indonesia. Haram hukumnya.

Belakangan, Gubernur Jatim Soekarwo sampai merasa perlu menerbitkan peraturan gubernur berisi larangan kegiatan dan segala tetek bengek yang berkaitan dengan ISIS di tanah Jatim.

Belum lagi rilis WikiLeak yang menyebutkan ISIS adalah buah karya operasi intelijen Amerika Serikat, Inggris dan Israel.

Edward Snowden, mantan karyawan badan intelijen AS, CIA yang mengungkapkan fakta konspiratif itu.

Okelah, saya sepakat ISIS memang mempertontonkan dan mengajarkan hal-hal yang berbahaya. Meski secara cita-cita, saya sepakat karena menginginkan daulah islamiyah.

Namun yang jadi masalah adalah bagaimana mereka memperjuangkan cita-cita itu.

Persoalannya, setiap hari semakin banyak pejabat negara berbicara ngalor-ngidul tentang ISIS tetapi sesungguhnya omongan itu hanya NOL BESAR.

Mereka yang berbicara kebanyakan tidak mengerti peta konflik di Suriah dan Irak, khususnya yang berkaitan dengan organisasi para mujahid di sana.

Saya tegaskan, bila ada mujahid yang berangkat ke Suriah, itu tidak bisa digeneralisasi sebagai serdadu ISIS.

Di Suriah ada faksi-faksi perlawanan lain. Bukan hanya ISIS. Organisasi yang mendapuk Abu Bakr Al-Bagdadi sebagai pimpinan tertinggi itu baru seumur jagung.

Di Suriah, ada organisasi para mujahid yang sudah lama berjuang melawan rezim Bashar al Assad, yakni Jabhah Nusrah (JN), organisasi yang berafiliasi ke Al Qaeda.

Meski begitu, JN tidak sebengis yang dipertontonkan ISIS. Keduanya bahkan sering terlibat baku tembak.

Inilah yang membuat saya tertawa dengan geliat pemberitaan tentang ISIS di Indonesia.

Semuanya menjadi parno alias paranoid. Bahkan, membicarakan ISIS pun menjadi sesuatu yang terlarang.

Ada pengajian yang dianggap aneh, sudah langsung dituduh bagian dari ISIS. Ada masjid yang dilihat tidak wajar, sudah dicap ISIS.

Coba kita telusuri organisasi keagamaan di Indonesia. Coba inventarisasi organisasi-organisasi itu yang tidak sepakat dengan Pancasila.

Ada organisasi yang terang-terangan menolak faham Pancasila. Tapi toh aman-aman saja. Contoh lain, partai misalnya.

Banyak partai politik yang melahirkan orang-orang korup yang merampk uang negara.

Bukankah tindakan itu mengkhianati Pancasila? Lalu kenapa parpol-parpol itu juga aman-aman saja?

Atau apakah karena ISIS mempertontonkan kebengisan? Memang di dunia maya banyak sekali video dan foto yang memperlihatkan sekelompok pria beratribut ISIS membunuh siapa saja yang melawan faham mereka. Jujur, adegan di video dan foto itu terlampau sadis.

Nah, karena kebengisan itulah kita semua menganggap faham ISIS sangat berbahaya.

Sangat laten dan bisa mengancam kehidupan berbangsa di Indonesia. Sampai di sini saya pun sepakat.

Atas nama kemanusian, pembunuhan yang dilakukan ISIS juga sangat kejam dan patut ditentang.

Namun, sekali lagi mau kah kita jujur bahwa negara ini juga menjalin hubungan yang mesra dengan banyak negara yang melakukan pembantaian serupa dengan ISIS.

Coba kita renungkan. Ada juga rakyat Afghanistan dan Irak yang mati di tangan serdadu sekutu. Banyak di antara mereka anak-anak dan perempuan.

Kita menentang aksi itu? Apa kemudian kita juga menjauhkan diri dari negara-negara sekutu itu karena kebengisan mereka? Jawabannya tidak.

Inilah yang menurut saya standar ganda dan ketidakadilan hadir di sana. Dan inilah yang kemudian memupuk subur embrio radikalisme.

Ketika embrio itu terus muncul, maka ini menjadi bukti kita gagal mensemestakan deradikalisasi di kalangan mujahid.

Kita hanya ahli dalam merepresi, namun gagap dalam persuasi. Bukankah mencegah itu lebih baik dari mengobati?

Ingat, faham radikalisme tidak akan luntur ketika Densus 88 menembak mati terduga teroris. Tindakan itu malah membuat mujahid lain semakin bersemangat.

Harusnya, BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) mengambil peran sebagai pencegah, bukan malah ikut-ikutan mengeluarkan pernyataan represif.

Pada akhirnya kita memang harus adil atas nama kemanusiaan kita. Islam itu memang harus ISIS dalam bahasa Jawa yang berarti ‘adem’.

Sumber: Surya
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas