Nasib Mantan Atlet Sulut, Jadi Tukang Ojek hingga Sekurity
Pada era itu lahir sejumlah atlet berbakat pada beberapa cabang olahraga yang kemudian mengharumkan nama Sulawesi Utara pada kompetisi nasional.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, MANADO - Dekade 80-an hingga awal 2000-an menjadi tahun bersejarah juga membanggakan bagi warga Kelurahan Bahu, Kecamatan Malayang, Kota Manado. Pada era itu lahir sejumlah atlet berbakat pada beberapa cabang olahraga yang kemudian mengharumkan nama Sulawesi Utara pada kompetisi tingkat nasional, dan nama Indonesia pada ajang internasional.
Ditemui Tribun Manado (Tribunnews.com Network), Rabu (20/8/2014), Joop Mandey, tokoh olahraga dan masyarakat Bahu, masih ingat sejumlah nama olahragawan-olahragawati Sulut asal Bahu. Mereka yang berhasil mengharumkan nama daerah dan negara di era itu, antara lain pada cabang tinju ada Max Wuwungan, Martin Wuwungan, Almarhum Adrianus Taroreh, Maxi Karen, Jefri Londa, Hengky Wuwungan, Vecky Tahumil, Melky Lelengboto, dan Ferry Manua. Pada olahraga anggar ada Paulani Ratu, Linda Mamesah, Olvie Rumuat, dan Ita Rumuat.
"Di sepak bola ada nama Inyong Lolombulan, Allen Mandey, Francis Wewengkang, Joice Sorongan, Leo Soputan, dan beberapa nama lainnya. Cabang renang, ada nama Dicky Atotoy yang pernah menjadi Kapolda Sulut, sedangkan atletik ada nama Marlin Tawas yang pernah menjadi Kapolres Tomohon," sebut Mandey.
Menurut Mandey, hal yang membuat Bahu pada era itu menjadi gudang atlet karena banyak faktor, antara lain motivasi dari orangtua dan kemauan tinggi menjadi atlet. Juga dorongan dan pembinaan dari para atlet senior, serta fasilitas penunjang.
"Proses kaderisasi dan regenerasi saat itu jalan baik, meski dengan fasilitas seadanya. Yang terpenting saat itu adalah semangat dan motivasi untuk jadi atlet," ujarnya.
Kesuksesan para atlet asal Bahu berprestasi dan mengharumkan nama daerah dan negara ternyata tidak berbanding lurus dengan masa depan kehidupan mereka, karena faktanya ada sejumlah atlet peraih medali pada berbagai kejuaraan, kehidupan ekonominya justru kini cukup memprihatinkan.
"Ada yang terpaksa harus ngojek, jadi sekuriti, dan beberapa pekerjaan lainnya yang mungkin saat mereka berjaya tidak ada dalam benak mereka," imbuhnya.
Hijrah
Pascakejayaan generasi itu, kini Bahu mengalami krisis atlet. Menurut Mandey, ada beberapa atlet yang masih eksis saat ini, khususnya cabang anggar, yakni Vinka Sorongan, Hendra Tarega bersaudara, dan Sinti Pua.
"Perhatian pemerintah dan pihak terkait, sangatlah penting dalam upaya pembinaan dan kesejahteraan atlet. Namun sayang, akibat minim perhatian pengurus dan pemerintah soal kesejahteraan atlet, mereka memilih hijrah dan membela daerah lain. Tarega bersaudara sekarang membela Jateng, sedangkan Pua kini membela Kaltim," katanya.
Pemerintah Provinsi Sulut tak ada daya untuk menahan atlet berprestasi hijrah ke provinsi lain. Dana masih menjadi alasan klasik.
"Pemprov Sulut tidak ada dana untuk menahan olahragawan ke provinsi lain. Prinsipnya jelas, ujung-ujungnya mereka cari hidup," kata Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Sulut Bartolomeus Mononutu.
Menurut dia, hal itu wajar karena di provinsi lain ada jaminan seperti gaji bulanan. Provinsi lain punya sponsor perusahaan swasta untuk menanggulangi masalah dana.
Sebenarnya, lanjut Mononutu, dulu ada upaya untuk mengikat atlet agar bisa berjuang untuk Sulut, seperti mengangkat mereka jadi honor atau PNS di Pemprov Sulut.
"Kalau sekarang jadi honor susah. Jadi PNS tak bisa angkat langsung, tetap harus ikut mekanisme, tak bisa ada pengecualian," katanya.